Kamis, 26 Januari 2012

Biografi KH Yahya Wahid Dahlan AlMutakamakin






kk
Secara akademis, ilmu sains, teknologi, dan sebagainya, mereka memang menguasai dengan baik. Namun jika pemahaman spiritualnya kering, akan muncul keadaan seperti sekarang ini: pejabat pintar tapi keblinger, pintar membodohi rakyat.




Melihat nama belakang tamu kita ini, ingatan kita segera tertuju pada satu sosok ulama kharismatis, asli Kajen, Jawa Tengah, Syaikh Ahmad Mutamakkin. Konon, Mbah Mutamakkin, sebutan populer Syaikh Ahmad Mutamakkin, adalah seorang tokoh yang menjadi cikal bakal atau nenek moyang orang Kajen dan sekitarnya, termasuk Purwodadi. Salah satunya, ya, Gus Yahya, demikian biasanya K.H. Yahya Al-Mutamakkin disapa.

Nama belakang “Al-Mutamakkin” tentu diambil dari nama sang buyut. Menurut Gus Yahya, penisbahan nama sang leluhur bukan untuk gagah-gagahan, melainkan menjaga silsilah. Lebih dari itu, sang abah, K. H. Abdul Wahid Al-Mutamakkin, ingin agar nama itu dapat menjadi sesuatu yang membuat putranya selalu bercermin dengan kealiman Mbah Mutamakkin.

Sementara nama Yahya itu sendiri diambil abahnya, yang terilhami dari nama seorang waliyullah asal Blora, Kiai Yahya. Semasa hidupnya, Kiai Yahya sengaja menjauh dari kota untuk menghindari fitnah, menuju ke pelosok desa untuk beribadah. Ulama-ulama alim dahulu memang seperti ini. Bila di kota sudah semakin ramai dan penuh maksiat, ia akan hijrah ke desa yang lebih kondusif untuk ibadah.

Seperti yang pernah dilakukan datuk para habib, Imam Ahmad bin Isa Al-Muhajir. Kala itu, Al-Muhajir hendak bertolak dari Baghdad lantaran daerah itu sudah cukup ramai. Untuk mendapatkan tempat yang lebih steril dari fitnah, ia beserta rombongan hijrah ke Hadhramaut.

Lagi-lagi, sang abah memiliki tujuan khusus dengan nama yang diberikannya pada sang putra. Apa lagi kalau bukan menjadi doa agar Gus Yahya mampu meneladani akhlaq dan ilmu Kiai Yahya. Maka, sejak lahir pada tahun 1975, nama “Yahya Al-Mutamakkin” menjadi nama resmi Gus Yahya, sapaan akrabnya.

Kepribadian Gus Yahya amat bersahaja. Tutur katanya lembut, bahasanya santun, suaranya pelan, namun tetap terdengar tegas. Ia juga sangat rendah hati. Wawasan keagamaannya luas. Dalam perbincangan, sesekali ia menyitir ayat-ayat Al-Qur’an dan sabda Rasulullah SAW.

Nyantri ke Luar Negeri
Sedari kecil, Gus Yahya mengenyam pendidikan agama dengan baik. Lazimnya anak kiai pada masa itu yang mendapatkan pendidikan agama pertama langsung dari sang abah, ia pun demikian. Dengan telaten abahnya mengajar Gus Yahya.

Sebetulnya ia sempat sekolah formal hingga kelas 3 SD. Namun, karena satu dan lain hal, akhirnya ia keluar dan belajar secara khusus dengan seorang guru di rumahnya.

Ketika usinya mulai beranjak dewasa, Gus Yahya melanjutkan belajar di Pesantren K.H. Abdul Selo, Pesantren K.H. Umar Ali, yang masih terhidung famili, dan tentunya di pesantren datuknya, Mbah Mutamakkin, Kajen.

Tidak cukup sampai di situ, ia juga melanjutkan belajar ke Bangil, Jawa Timur.

Merasa belum puas dengan ilmu yang selama ini didapat, saat usianya beranjak 16 tahun, ia belajar kepada Habib Anis bin Alwi Al-Habsyi, Solo. Di tempat terahir ini, ia nyantri cukup lama, kurang lebih selama empat tahun, sejak tahun 1991 hingga tahun 1995.

Gus Yahya merasa bersyukur lahir dari keturunan Mbah Mutamakkin. Bukan bermaksud mengkultuskan, namun, baginya, anugerah ini menjadi keuntungan tersendiri bagi anak keempat dari delapan bersaudara ini. Sehingga abahnya, yang juga seorang ulama, memiliki himmah yang tinggi terhadap ilmu agama. Ini diwariskan sang buyut. Dan semangat itu juga yang diwariskan sang abah kepada Gus Yahya, sehingga abahnya selalu mendukung dan memotivasi agar Gus Yahya tak pernah berhenti belajar. Bahkan hingga ke mancangara.

“Abah memang begitu memotivasi saya untuk belajar kepada para ulama yang hebat di mancanegara. Ini bukan bermaksud mengecilkan peran ulama Indonesia, biar bagaimanapun banyak ulama Indonesia yang memiliki reputasi sekaliber ulama internasional. Akan tetapi yang dimaksud oleh sang abah, apabila berkesempatan belajar di macanegara, khususnya di negeri para nabi, ada keistimewaan tersendiri, yakni saya bisa mendapatkan berkah pada tempat-tempat tertentu, seperti Makkah dan Madinah, yang tidak terdapat di Indonesia. Selain itu tentunya bisa membangun jaringan dengan ulama internasional,” kata Gus Yahya.

Pucuk dicita, ulam pun tiba. Pada tahun 1995, Gus Yahya berkesempatan berangkat ke Madinah, belajar bersama Habib Zein Bin Sumaith. Kesempatan ini merupakan hadiah dari sang guru tercintanya, Habib Anis Al-Habsyi.

Alkisah, sebelum berangkat ke Madinah, Gus Yahya sempat mendapatkan tawaran dari Dr. Abdullah Al-Yamani untuk belajar di beberapa negeri, seperti Amerika dan Pakistan. Ulama dari Jeddah ini memang dikenal sangat antusias kepada pelajar Indonesia yang memiliki motivasi belajar di luar negeri.

Sebagai seorang murid, Gus Yahya mengkonsultasikan perihal tersebut kepada Habib Anis. Akan tetapi habib yang murah senyum ini kurang setuju bila Gus Yahya mengambil tawaran Dr. Abdullah Al-Yamani, ia menasihati Gus Yahya untuk bersabar.

Tahun 1993, Habib Anis bersama rombongan berangkat ke Hadhramaut dan Madinah. Rupanya, saat Habib Anis bertemu Habib Zein Bin Sumaith di Madinah, beliaulah yang mendaftarkan Gus Yahya. Tentu saja jalannya menjadi mulus dengan campur tangan Habib Anis.

Maka berangkatlah Gus Yahya ke Madinah pada tahun 1995.

Habib Zein menerima dengan senang hati.

“Subhanallah, saya yang dhaif ini mendapat perlakuan istimewa, baik zhahir maupun bathin, dari Habib Zein. Tentu ini berkat Habib Anis,” kata Gus Yahya merendah.

Gus Yahya begitu mengagumi sosok gurunya ini. “Kekaguman saya kepada almarhum tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Beliau adalah suri teladan yang hampir-hampir sempurna. Baik itu ilmu, keperibadian, maupun akhlaqnya. Beliau selalu tersenyum kepada siapa saja dan dalam keadaan apa saja. Akhlaq mulia lainnya, beliau begitu memuliakan tamu.

Suatu ketika pernah ada tamu yang akan datang dan kebetulan beliau meminta saya untuk merapikan kamar tamu tersebut. Saat itu beliau berpesan, ‘Bersihkan dengan sebaik-baiknya, kalau untuk tamu itu harus yang terbaik, bahkan yang jauh lebih baik dari kita’,” kata Gus Yahya mengenang.

Almarhum juga pernah berpesan khusus kepada Gus Yahya sesaat sebelum berangkat ke Madinah. Saat itu almarhum Habib Anis sedang sakit dan berobat ke Jakarta. Sebagai seorang murid, Gus Yahya sangat ingin bertemu untuk berpamitan dengan sang guru. Syukur-syukur bisa mendapatkan nasihat untuk bekal selama di kota Nabi. Apalagi Habib Anis memiliki peran penting dalam kepergiannya itu. Ia berusaha mencari keberadaan Habib Anis, ke sana-kemari.

Singkat cerita, Gus Yahya berhasil menemukannya di salah satu kediaman kerabatnya di bilangan Jakarta.
“Saat itu saya hanya berbicara berdua dengan beliau. Beliau memberikan beberapa wasiat, namun yang masih saya ingat di antaranya, ‘Apa yang sudah kamu terima dari Masjid Ariyadh, Solo, seperti wirid dan amal lainya, kamu istiqamahkan.’

Bahkan tidak hanya nasihat, beliau juga sempat memberikan sangu (ongkos), padahal saya muridnya, seharusnya saya yang lebih pantas memberikan itu kepada beliau,” tutur Gus Yahya sumringah.

Di Madinah, Gus Yahya nyantri selama empat tahun. Di kota Nabi SAW itu, ia belajar ilmu fiqih, alat, tasawuf, tafsir, dan sebagainya, kepada Habib Zein Bin Sumaith, Habib Salim Asy-Syathiri, yang sebelum menetap kembali di Hadhramaut masih mondar-mandir Madinah-Tarim, dan ulama yang lainnya.

Satu pembelajaran unik di Madinah yang mungkin tidak didapatkan di tempat lain, kala itu, yaitu sistem ujian Habib Zein. Santri diajak untuk mengasah kecerdasan dan menguatkan hafalan dengan cara diskusi dan ujian setiap pekan. Habib Zein sendiri yang bertanya kepada santri tentang hukum dan dalil suatu permasalahan. Waktunya dua kali dalam sepekan.

Bagi Gus Yahya, sistem seperti itu begitu berkesan. Padahal umumnya seorang siswa atau santri merasa takut bila menghadapi ujian. Apalagi dalam waktu yang sering. Biasanya ujian itu setahun dua kali, bukan seminggu dua kali. Namun ini tidak berlaku bagi Gus Yahya. Ujian dua kali dalam seminggu bukan menjadi momok baginya. Inilah media baginya untuk mengukur pemahamannya selama ini. 

Setiap Jum’at malam ujian nahwu dan Sabtu pagi ujian fiqih. Karenanya tidak mengherankan bila santri-santri Habib Zein terkenal dalam penguasaan masalah fiqih, sedikit banyak karena pengaruh sistem ujian seperti itu.

Tahun 1999, seiring waktu belajarnya akan usai, Gus Yahya mulai bimbang. Apakah ia harus kembali ke Indonesia, atau tetap belajar kepada Habib Zein di Madinah. Muslim mana yang tidak betah tinggal di Madinah, nikmatnya masya Allah....

Ketika tengah berada di Masjid Nabawi, ia mengkonsultasikannya kepada sang guru.

Setelah ia menceritakan permasalahannya, dengan tegas Habib Zein menasihati, “Sebaiknya kamu lihat yang paling bermanfaat dan afdhal buat umat. Apabila kamu lebih dibutuhkan di Indonesia, pulanglah. Sebaliknya, bila menurut kamu belajar di Madinah itu yang terbaik, menetaplah.”

Saat itu juga Gus Yahya langsung mendapatkan jawaban, seolah isyarah dari Allah SWT, ia begitu yakin untuk memilih pilihan pertama, kembali ke Indoensia. Menurutnya, orangtua mengirimnya belajar hingga ke luar negeri bukan tanpa alasan. Ia yakin, ketika dirasa telah memiliki cukup bekal ilmu ia memang harus kembali membatu sang abah meneruskan perjuangannya dalam berdakwah.

Mulai Berdakwah
Awalnya, sekembali dari Madinah pada tahun 1999, Gus Yahya sempat berdakwah di Jakarta. Di Ibu Kota, ia tinggal di kediaman ayah angkatnya, H. Mustofa, daerah Kalibata, yang mendirikan Yayasan Al-Azhari. Sambil berdakwah, ia juga memanfaatkan waktunya untuk menjalin silaturahim dengan para alumnus dari Madinah.

Bersama salah satu kawan dekatnya, asal Bekasi, Habib Muhammad Vad’aq, ia menggagas terbentuknya organisasi murid-murid Habib Zein, yang menampung seluruh alumnus. Pada tahun yang sama, berdirilah organisasi Ath-Thayyibah.

Masih di tahun yang sama, Gus Yahya sempat berencana untuk membangun pesantren di bilangan Cibitung, Bekasi. Kala itu ada salah seorang hartawan yang mewakafkan tanah seluas 5.000 m untuk santri Habib Zein.

Namun, setelah beristikharah, Gus Yahya mendapatkan petunjuk dari Allah SWT untuk hijrah ke arah wetan atau timur. Maka ia tidak jadi mendirikan pesantren di Kota Patriot itu.
Tahun 2000, ia pun memutuskan kembali ke Jawa Tengah. Namun tidak langsung kembali ke kampung halaman untuk mengasuh pesantren peninggalan datuknya, K.H. Dahlan Al-Mutamakkin, ia memilih mendirikan pesantren di Semarang.

Pesantren Mahasiswa
Tumbangnya rezim Soeharto sedikit banyak merupakan kontribusi mahasiswa. Peran mahasiswa sebagai agent of change harus dibentengi dengan ilmu agama.

Secara akademis, ilmu sains, teknologi, dan sebagainya, mereka memang menguasai dengan baik. Namun jika pemahaman spiritualnya kering, akan muncul keadaan seperti sekarang ini: Pejabat pintar, tapi keblinger, pintar membodohi rakyatnya. Banyak yang ahli dalam bisnis, tapi lihai memanipulasi.

Berangkat dari sini, Gus Yahya bersama sahabatnya, K.H. Musolih Azhari dan Habib Hasan, mendirikan pesantren mahasiswa. Pembelajarannya seputar fiqih, akhlaq, tasawuf, tafsir, dan sebagainya. Misinya, untuk mencetak intelektual muslim dan muslim intelektual serta santri yang mampu mengikuti perkembangan zaman dan sarjana yang berjiwa santri.

Selain mengajar di pesantren mahasiswa, ia juga mengembangkan dakwah remaja dengan cara keliling dari satu masjid kampus ke masjid kampus lain. Namanya Majelis Dakwah Pemuda Al-Izzah. Remajanya masih dari kalangan mahasiswa. Namun berbeda dengan pesantren mahasiswa, kajian ini digelar sekali dalam sepekan dan jama’ahnya tidak hanya santri mahasiswa.

Dengan menggunakan metode pendekatan ilmiah, presentasi, diskusi, dan lain-lain, pengajian ini kerap membahas tema-tema permasalahan bangsa dan umat saat itu, agar kontekstual dan mampu menarik jama’ah.

Misalnya, saat ini kembali mencuat isu terorisme. Karena terorisme sering dikait-kaitkan dengan jihad, padahal sesungguhnya tidak ada kaitannya sama sekali, pengajiannya pun membahas kosep seputar jihad.

Menanggapi bahwa terorisme juga terjadi di antara sesama umat Islam, “Sebetulnya bila dicari akar permasalahannya, kelompok radikal itu bersumber dari kelompok yang suka membid’ahkan orang lain, menuduh amaliah sunnah sebagian bid’ah, sesat, dan syirik.... Pada akhirnya mereka merasa bahwa hanya merekalah yang benar. Mereka ingin mengubah namun tidak memiliki kemampuan... maka akhirnya menggunakan jalan pintas, jihad yang salah,” kata Gus Yahya.

Dalam setiap ta’limnya, Gus Yahya selalu menekankan pentingnya belajar kepada seorang guru yang telah jelas keilmuan dan aqidahnya, yang umumnya, selain melakukan perintah Allah SWT, juga mendawamkan amaliyah sunnah Rasulullah dan salafush shalih. Sejatinya, dalam belajar, seorang murid juga harus mengikuti petuah dan nasihatnya, tidak sebatas mengikuti pakaian dan jubahnya. 

Ada kisah dari seorang ulama tasawuf, Abu Yazid Al-Busthami. Satu hari, ada seseorang mendatanginya dan berkata, “Wahai Imam, saya ingin jubah antum, berikan kepada saya, agar saya mendapatkan keberkahan.”

Abu Yazid menjawab, “Jangankan jubahku ini, kalaupun engkau meminta kulit yang melindungi dagingku ini, akan aku sayat dan berikan kepadamu. Tapi sebetulnya ini tidak akan bermanfaat bila engkau tidak mengikuti petuah dan nasihatku, engkau akan mendapatkan barakah bila menjalankan bimbinganku....”

Kini, Gus Yahya memimpin Pesantren Darut Tauhid Al-Mutamakkin, peninggalan sang datuk. Nama Darut Tauhid diberikan oleh abahnya, yang mendapat nama dari ulama kenamaan asal Makkah, Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki. Sementara Al-Mutamakkin diambil untuk bertabarruk kepada buyutnya, Mbah Mutamakkin. Dahulu pesantren ini belum memiliki nama, lazimnya pesantren-pesantren dahulu yang hanya dinamai dengan nama daerah.

Meskipun saat ini ia telah menetap dan mengasuh pesantren di Purwodadi, melanjutkan ta’lim abahnya setiap Ahad Legi, dua pekan sekali setiap Rabu, Gus Yahya masih aktif menjalankan aktivitasnya mengajar di pesantren mahasiswa dan pengajian remaja di Semarang dan tempat-tempat lainnya.

1 komentar: