Selasa, 04 Oktober 2011

sejarah pondok pesantren tebuireng Jombang


 oktober 4 2011

sejarah ponpes Tebuireng Jombang


Tebuireng, nama sebuah dusun kecil di tepi jalan raya Jombang-Kediri, delapan kilometer arah selatan kota Jombang. Legenda masyarakat setempat menyebutkan, bahwa nama Tebuireng berasal dari kebo ireng. Bermula dari suatu peristiwa bahwa di antara penduduk dusun ada yang memiliki kerbau berkulit kuning (bule). Suatu hari kerbau itu menghilang, setelah dicari kesana kemari barulah senja hari ditemukan terperosok di rawa-rawa. Seluruh kulitnya dipenuli binatang lintah sehingga terlihat hitam. Hal itu sangat mengejutkan bagi pemilik kerbau sehingga dia berteriak, “kebo ireng”. Maka kebo ireng menjadi sebutan bagi dusun kecil itu.
Riwayat lain menyebutkan, kebo ireng berasal dari nama seorang punggawa kerajaan Majapahit yang masuk Islam dan kemudian tinggal di daerah Jombang. Konon, keluarga pesantren Tebuireng dengan punggawa tersebut memiliki pertalian darah. Dalam perkembangan selanjutnya, nama kebo ireng berubah menjadi Tebuireng.
Berdirinya Pesantren

Pondok Pesantren Tebuireng sendiri didirikan oleh KHM. Hasyim Asy’ari tahun 1899 M, dan mendapat pengakuan dari pemerintah Hindia Belanda pada 16 Rabiul Awwal 1324 H / 6 Februari 1899 M. Kyai Hasyim lahir di Pesantren Gedang, arah utara kota Jombang pada 26 Dzul Qo’dah 1287 H / 14 Februari 1871 M dari hasil perkawinan antara K. Asy’ari dengan Halimah. Beliau adalah seorang ulama’ besar yang telah lama belajar dan mendalami ilmu agama baik di dalam maupun luar negeri. Jiwanya merasa terpanggil untuk memperbaiki masyarakat tempat tinggalnya yang sedang dilanda berbagai krisis kehidupan, Kyai Hasyim mendirikan Pondok Pesantren yang berperan sebagai pusat pendidikan dan penyiaran agama Islam.
Dalam Mewujudkan cita-citanya, Kyai Hasyim memiliki suatu pedoman, “Menyiarkan agama Islam artinya memperbaiki manusia. Jika manusia itu sudah baik, maka akan banyak menghasilkan berbagai kebaikan yang lain. Berjihad artinya menghadapi kesukaran dan memberikan pengorbanan, contoh-contoh ini telah diberikan oleh nabi kita dalam perjuangannya”.
Selanjutnya, Kyai Hasyim membeli tanah seluas 200 m2 di Tebuireng milik seorang dalang terkenal. Diatas tanah tersebut didirikan pondok, yang hanya berupa bedeng berbentuk bujur sangkar, di sekat menjadi dua ruangan. Bagian belakang sebagai tempat tinggal Kyai dan keluarganya, sedangkan yang lain untuk tempat sholat dan belajar para santri yang berjumlah 28 orang. Fasilitas yang sangat sederhana tidak mengurangi semangat Kyai Hasyim dalam membimbintg para santri untuk menuntut ilmu dalam bentuk pengajian kitab-kitab agama.
Berdirinya pesantren Tebuireng kurang mendapat perhatian dari masyarakat sekitarnya, dan bahkan menumbuhkan rasa kebencian, sehingga muncul gangguan dari masyarakat yang harus dihadapi oleh Kyai Hasyim. Meskipun rintangan yang menghadang amat berat, namun Kyai Hasyim dan para santrinya mampu mengatasinya.
Hidup dalam pemerintah kolonial membuat Kyai Hasyim berprinsip ‘berdikari’, artinya tidak menggantungkan diri atau minta bantuan kepada orang lain yang tidak seirama dan seagama. Dengan semangat berkorban da penuh pengabdian, beliau terus membina Pondok Pesantren Tebuireng hingga berkembang menjadi lembaga pendidikan Islam yang besar. Prinsip yang dikembangkan adalah mengutamakan kepentingan pesantren daripada kepentingan diri sendiri. Karena itulah, dari sisi ekonomi beliau tetap memiliki usaha di luar pesantren, yang di waktu senggang di sela-sela mengajar Kyai Hasyim menyempatkan diri mengerjakan sawah pertanian dan juga melakukan perdagangan keluar daerah.
Pengembangan Pesantren
Sistem Pendidikan
Pendidikan semula berlangsung secara sorogan (santri membaca, guru menyimak) dan bandongan (guru membaca, santri menyimak). Sejak tahun 1916 mulai dirintis pendidikan dalam bentuk klasikal, meskipun masih sangat sederhana. Baru pada tahun 1926 pendidikan banyak mengalami penyempurnaan baik kurikulum maupun metodenya, termasuk tambahan pelajaran umum yang meliputi bahasa Indonesia, Ilmu Bumi dan Berhitung.
Untuk meningkatkan pendidikan di Tebuireng, Kyai Hasyim menunjuk Abdul Wahid Hasyim (putra) dan Moh. Ilyas (santri), -sebelumnya telah diutus untuk belajar di Makkah- untuk mengembangkan pendidikan di Tebuireng. Kesempatan baik ini, dimanfaatkan oleh mereka berdua untuk mengadakan pembaharuan dalam tiga bidang yakni:
  • Memperluas pengetahuan para santri
  • Memasukkan pengetahuan modern ke dalam kurikulum madrasah
  • Meningkatkan sistem pengajaran bahasa Arab secara aktif

Sebagai langkah pembaharuan, tahun 1934 Abdul Wahid Hasyim merintis Madrasah Nidhomiyah yangbanyak menyajikan pelajaran umum dan ditunjang dengan memasukkan surat kabar, majalah, buku-buku pengetahuan umum yang berbahasa Indonesia, Arab dan Inggris. Perkembangan sistem pendidikan ini tidak meninggalkan pola pengajaran khas pondok pesantren yaitu pengajian kitab klasik (kuning).
Usaha pembaharuan ini memang tidak menampak hasil nyata dalam waktu dekat. Namun saat penjajahan Jepang diberlakukan larangan surat menyurat selain dengan huruf latin, hal itu tidak menimbulkan masalah bagi santri Tebuireng. Dengan modal mempelajari pengetahuan umum di Tebuireng, banyak alumni Tebuireng dengan cepat mampu menguasai keadaan untuk menolong umat Islam yang terjajah. Misalnya di bidang politik menjadi anggota ‘sangi kay’ (DPR tingkat Karesidenan), menguasai sentra-sentra ekonomi, bahkan pasca kemerdekaan banyak yang menduduki jabatan kepala di suata jawatan.
Model pendidikan ini olah Abdul Wahid Hasyim disebut ‘da’wah dari dasar’. Dengan demikian gerakan bagi pembaharuan pendidikan Islam, pemahaman kehidupan agama dan gerakan sosial, terpadu dalam misi Pondok Pesantren Tebuireng. Akibat dari aktivitas Tebuireng ini tidak hanya dirasakan oleh santri-santrinya, tetapi juga oleh masyarakat muslim di luar Pondok Pesantren. Tujuan pendidikan yang dirintis oleh Abdul Wahid Hasyim ini adalah untuk mensejajarkan derajat dan martabat santri dengan pelajar-pelajar dari Barat.
Pada 25 Juli 1947 Kyai Hasyim dipanggil menghadap Allah SWT. Jabatan pengasuh digantikan oleh putranya sendiri, KH. Abdul Wahid Hasyim yang memgang jabatan hingga tahun 1950. Ketika beliau diangkat menjadi menteri agama RI dalam kabinet RIS, kedudukan sebagai pengasuh digantikan KH. Baidlowi, menantu Kyai Hasyim. Berturut-turut wewenang pengasuh diemban oleh KH. Abdul Karim Hasyim dan kemudian oleh KH. Abdul Kholiq Hasyim yang saat itu telah non-aktif sebagai seorang senior Divisi Brawijaya.
Saat kepemimpinan KH. Abdul Kholiq ini Madrasah Nidhomiyah berganti nama menjadi Madrasah Salafiyah Syafi’iyah. Perubahan nama ini sebenarnya diakibatkan oleh perubahan dalam approuch terhadap pemberian ajaran agama yang melebar, dengan memiliki jenjang pendidikan dasar, lanjutan pertama dan lanjutan atas. Karena masih merupakan sebuah percobaan, pada masa 10 tahun pertama konsep salafiyah ini masih mengalami perubahan bentuk dan nama berkali-kali, seperti wustho, mu’alimin dan lain sebagainya.
Lambat laun sistem salafiyah ini menetap dalam bentuk yang baku, yaitu 6 tahun pendidikan dasar (ibtida’iyah), dan 3 tahun lanjutan atas (aliyah), dengan komposisi 65% mata pelajaran agama dan 35% mata pelajaran umum. Pada tahun 1965 q KH. Abdul Kholiq wafat, sedangkan kakak beliau KH. A. Wahid Hasyim telah mendahuluinya pada tahun 1953 dan kemudian menyusul KH. Abdul Karim Hasyim tahun 1973 di tanah suci Mekkah.
Kedudukan selanjutnya dipegang KHM. Yusuf Hasyim yang telah menjadi pengasuh dari tahun 1965 hingga tahun 2006 dan beberapa bulan sebelum beliau meninggal posisi pengasuh dipegang KH. Ir. Solahuddin Wahid putra dari KH. A. Wahid Hasyim hingga kini.
Di samping itu salah seorang menantu Kyai Hasyim yaitu Kyai Idris Kamali, secara tekun memimpin pengajian agama dalam bentuk pengajian sorogan sejak tahun 1950 an hingga tahun 1972, ketika beliau berangkat ke tanah suci untuk menetap di sana hingga beberapa waktu dan akhirnya wafat pada tahun 1986 di Cirebon.

M.Ahda Ali

kenangan bersama Gus Muh Tegalrejo

In Memmorian Gus Muh Tegalrejo

oktober 4 2011

In Memmoriam KH Ahmad Muhammad (Gus Muh) A.P.I Tegalrejo Magelang

“TEKUN TIRAKAT MERANGKUL KAUM ABANGAN”

Belum lama ini, KH Ahmad Muhammad, akrab disapa Gus Muh, salah seorang kiai pengasuh pondok pesantren Asrama Perguruan Islam Tegalrejo Magelang meninggal dunia. Kiai yang dikenal sangat dekat dengan rakyat berbagai elemen ini meninggalkan duka mendalam. Gus Muh dikenal tekun bertirakat.


Sedianya, pada Sabtu (7/3) kemarin, ponpes Asrama Perguruan Islam Tegalrejo-Magelang hendak menggelar pentas seni. Melibatkan ratusan seniman petani dari Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing dan Menoreh) dalam Orkestra Afalaa Tatafakkaruun bertajuk ‘Dongeng Perubahan’. Tetapi, malam sebelumnya, Jumat (6/3) sekitar pukul 23. 55 wib, salah seorang kiai pengasuh ponpes tersebut mendadak meninggal dunia. Pentas itu dibatalkan.

KH. Ahmad Muhammad atau Gus Muh, meninggal pada usia 67 tahun karena sakit diabetes dan komplikasi. Sampai hari ini, para santri ponpes A.P.I secara bergantian, siang dan malam, mendoakan almarhum di makamnya. KH Ahmad Muhammad dikebumikan di komplek makam keluarga KH Chudlori, tak jauh dari pesantren A.P.I. Nisannya bersebelahan dengan nisan sang muassis, KH. Chudlori.

Bagaimana kiprah Gus Muh semasa hidup dan seperti apa ponpes Asrama Perguruan Islam yang dikenal unik dan tergolong ponpes tua ini? Di tengah kesibukan memberi ceramah agama di berbagai tempat, KH Muhammad Yusuf Chudlori yang akrab disapa Gus Yusuf, berkenan membeber kiprah kakak kandungnya itu semasa hidup berikut seluk-beluk ponpes yang didirikan oleh almarhum ayahandanya.

Selasa, (17/3), menjelang tengah siang ketika itu, Gus Yusuf sudah bersiap berangkat untuk memberi ceramah di dua tempat berbeda. Karena kesibukannya itu, ia bercerita di dalam mobil selama perjalanan menuju tempat ceramah. Adik kandung KH Ahmad Muhammad (Gus Muh) itu mengatakan, ponpes A.P.I didirikan sejak tahun 1944. Tanggal dan bulannya Gus Yusuf mengaku lupa. Mendiang ayahandanya, KH Chudlori, mendirikan ponpes itu ketika di Magelang dan sekitarnya belum ada pesantren.

“Ayah saya (KH Chudlori-red) mendirikan ponpes setelah menimba ilmu agama di berbagai pesantren. Di antaranya di Tebuiring, Lasem, Watucongol dan banyak lagi. Namanya, Asrama Perguruan Islam (A.P.I), sebenarnya cukup nyleneh. Sebab, biasanya pesantren itu namanya berbau Arab”, kata Gus Yusuf.

Gus Yusuf menyambung, nama Asrama Perguruan Islam ini memang dipilih oleh KH Chudlori, agar ponpes menjadi lebih membumi dan memasyarakat. Ayah saya, demikian Gus Yusuf, ingin dengan nama Asrama Perguruan Islam ini, ponpes menjadi lebih terbuka. “Dengan nama A.P.I ini ayah saya juga berharap agar para mutakhorijin atau alumni santri Tegalrejo kelak bisa menjadi guru di masyarakatnya masing-masing”, terangnya.

Di kalangan para santri, KH Chudlori dikenal sebagai muassis. Ketika KH Chudlori tutup usia pada 1977, dua putranya, KH Abdurahman dan KH Ahmad Muhammad (alm) ditunjuk sebagai penerusnya. “Pimpinan tertinggi A.P.I ada di tangan kakak tertua saya, KH Abdurahman”, kata Gus Yusuf.

Gus Yusuf menyampaikan rasa kehilangannya atas kepulangan Gus Muh ke rahmatulloh. “Bagi saya, Gus Muh bukan hanya sekedar kakak. Tetapi, juga guru. Beliau banyak mengajarkan bagaimana menghadapi masyarakat kecil atau kaum abangan. Ini lebih sulit daripada mendidik sekelompok orang yang ‘sudah jadi’. Ibarat ngobori dalan peteng, mendidik orang-orang abangan atau yang belum bisa menerima sepenuhnya Islam itu lebih sulit. Kemampuan Gus Muh merangkul masyarakat abangan itu luarbiasa. Telaten dan tirakatnya memang kuat. Ibarat awan disrawungi, bengi didolani”, ujar Gus Yusuf.

Sepeninggal Gus Muh, Gus Yusuf berharap dengan segala keterbatasan yang ada, semua ajaran almarhum bisa diuri-uri. Diakuinya, mungkin tidak bisa semaksimal dahulu. “Tetapi pada dasarnya, saya sendiri sudah dekat dengan komunitas kebudayaan. Tidak ada wasiat khusus dari Gus Muh. Kecuali, wasiat terkait keluarga. Dari sebelas bersaudara, semua saling mengisi dan semua tinggal di seputar lokasi ponpes. Untuk memenuhi undangan ceramah di luar ponpes, kalau tidak saya (Gus Yusuf-red), ya KH Abdurahman (Mbah Dur-red)”, jelas Gus Yusuf

M. Ahda Ali

Sejarah Berdirinya PONPES API Tegalrejo

 4 oktober

 

Sejarah Berdirinya PONPES API Tegalrejo

Sejarah Berdirinya Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam
Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam (API) Tegalrejo
didirikan pada tanggal 15 September 1944 oleh KH. Chudlori yaitu seorang
ulama yang juga berasal dari desa Tegalrejo. Beliau adalah menantu dari KH.
Dalhar pengasuh Pondok Pesantren ”Darus Salam” Watucongol Muntilan
Magelang. KH. Chudlori mendirikan Pondok Pesantren di Tegalrejo pada
awalnya tanpa memberikan nama sebagaimana layaknya Pondok Pesantren
yang lain. Baru setelah berkalai-kali beliau mendapatkan saran dan usulan
dari rekan seperjuangannya pada tahun 1947 di tetapkanlah nama Asrama
Perguruan Islam (API). Nama ini ditentukannya sendiri yang tentunya
merupakan hasil dari sholat Istikharoh. Dengan lahirnya nama Asrama
Perguruan Islam, beliau berharap agar para santrinya kelak di masyarakat
mampu dan mau menjadi guruyang mengajarkan dan mengembangkan
syariat-syariat Islam.
Adapun yang melatar belakangi berdirinya Asrama Perguruan Islam
adalah adanya semangat jihad ”I’Lai kalimatillah” yang mengkristal dalam
jiwa sang pendiri itu sendiri. Dimana kondisi masyarakat Tegalrejo pada
waktu itu masih banyak yang bergelumuran dengan perbuatan-perbuatan
syirik dan anti pati dengan tata nilai sosial yang Islami. Respon Masyarakat
35
Tegalrejo atas didirikannya Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam
Tegalrejo pada waktu itu sangat memprihatinkan. Karena pada saat itu
masyarakat masih kental dengan aliran kejawen. Tidak jarang mereka
melakukan hal-hal yang negatif yang mengakibatkan berhentinya kegiatan
ta’lim wa-taa’llum (kegiatan belajar-mengajar). Sebagai seorang ulama yang
telah digembleng jiwanya bertahun-tahun di berbagai pesantren, KH.
Chudlori tetap tegar dalam menghadapi dan menangani segala hambatan dan
tantangn yang datang.
Berkat ketegaran dan keuletan KH. Chudlori dalam upayanya
mewujudkan Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam baik secara dhohir
maupun batin. Santri yang pada awal berdirinya hanya berjumlah delapan,
tiga tahun kemudian sudah mencapai sekitar 100-an. Prestasi ini jika di
identikan dengan prestasi para pendiri pondok pesantren dalam era kemajuan
ini, barang kali biasa-biasa saja. Akan tetapi kalau melihat situasi serta
kondisi serta sistem sosial yang berlaku pada saat itu sungguh prestasi KH.
Chudlori merupakan prestasi yang lebih.
Aksi negatif masyarakat seputar setelah tiga tahun API berdiri
semakin mereda, bahkan diantara mereka yang semula anti pati ada yang
berbalik total menjadi simpati dan ikhlas menjadi pendukung setia dengan
mengorbankan segala dana dan daya yang ada demi suksesnya perjuangan
KH. Chudhori. Akan tetapi di luar dugaan dan perhitungan pada awal tahun
1948 secara mendadak API diserbu Belanda tepat pada “Kles II”. Gedung
atau fisik API yang sudah ada pada waktu itu diporak porandakan. Sejumlah
36
kitab termasuk Kitab milik KH. Chudhori dibakar hangus, sementara santrisantri
termasuk KH.Chudhori mengungsi kesuatu desa yang bernama Tejo
kecamatan Candimulyo. Kegiatan taklim wa-taalum nyaris terhenti.
Pada penghujung tahun 1949 dimana situasi nampak aman
KH.Chudhori kembali mengadakan kegiatan taklim wa-taalum kepada
masyarakat sekitar dan santripun mulai berdatangan terutama yang telah
mendengar informasi bahwa situasi di Tegalrejo sudah normal kembali,
sehingga KH.Chudhori mulai mendirikan kembali API lagi di temapt semula.
Semenjak itulah API berkembang pesat seakan bebas dari hambatan,
sehingga mulai tahun 1977 jumlah santri sudah mencapai sekitar 1500-an.
Inilah puncak prestasi KH.Chudhori di dalam membawa API ke permukaan
umat.
Adalah merupakan suratan taqdir, dimana pada saat API sedang
berkembang pesat dan melambung ke atas, KH.Chudhori dipanggil
kerahmatullah (wafat), sehingga kegiatan taklim wataalum terpaksa diambil
alih oleh putra sulungnya (KH. Abdurrohman Ch) dibantu oleh putra
Keduanya (Bp. Achmad Muhammad Ch). Peristiwa yang mengaharukan ini
terjadi pada penghujung tahun 1977.
Sudah menjadi hal yang wajar bahwa apabila disuatu pondok
pesantren terjadi pergantian pengasuh, grafik jumlah santri menurun.
Demikina juga API pada awal periode KH. Abdurrohman Ch jumlah santri
menurun drastis, sehingga pada tahun 1980 tinggal sekitar 760-an. Akan
tetapi nampak keuletan dan kegigihan KH.Chudhori telah diwariskan kepada
37
KH. Abdurrohman Ch, sehingga jumlah santri bias kembali meningkat
sampai pada tahun 1922 menurut catatan sekretaris mencapai 2698 santri.
Disini perlu dimaklumi oleh pembaca bahwa dari awal berdirinya
hingga sekarang, API hanya menerima santri putra. Meskipun usulan dan
saran dari berbagai kalangan saling berdatangan, namun belum pernah
terpikirkan secara serius untuk mendirikan pondok pesantren putri hingga
sekarang. Hal ini dapat dimaklumi karena faktor sarana dan prasarananya
kurang mendukung terutama persediaan air bersih dan tanah lokasi.

oleh M.Ahda Ali