Kamis, 26 Januari 2012

membaca Al qur'an di kuburan

Membaca Al-Qur'an di Kuburan
Agama Islam menganjurkan untuk saling mendoakan sesama muslim, walaupun terhadap muslim yang telah meninggal dunia. Ini membuktikan bahwa persaudaraan antara muslim itu bersifat abadi, tidak hanya ketika hidup di dunia saja tetapi juga ketika salah satu diantara mereka telah meninggal. Bahkan persaudaraan itu akan berlanjut kelak di akhirat.Ulama ahli fiqih bersepakat, bahwa amalan orang yang masih hidup yang diperuntukkan kepada yang telah meninggal berpahala sama. Amalan itu tidak hanya sebatas doa, tetapi juga amalan-amalan lain yang bermanfaat bagi yang telah meninggal dunia. Seperti sedekah, membaca al-Qur’an, dan membayarkan qadha puasa.
Dalam kitab Hujjah Ahlus Sunnah wal Jama’ah dijelaskan ada dua pendapat mengenai hukum membaca al-Qur’an di kuburan. Madzhab Malikiyah menganggap hal itu makruh. Sedangkan mayoritas ulama mutaakhkhirin memperbolehkannya. Dan pendapat terakhir inilah yang berlaku di kalangan kaum muslimin sekarang.
Jika kita mau memperhatikan hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalib dari Nabi Muhammad saw. Sesungguhnya beliau telah bersabda: “barang siapa yang melewati kuburan dan membaca surat al-fatihah sebelas kali, kemudian menghadiahkan pahalanya kepada orang yang telah meninggal, maka diberikan kepadanya pahal dengan hitungan orang yang telah meninggal tadi”.
Adapun hadits yang lebih spesifik menerangkan tentang membaca al-Qur’an di kuburan adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra yang artinya:”barang siapa berziarah kepada kubur kedua orang tuanya atau salah satunya, kemudian ia membaca surat Yasin di pekuburan, dia telah diampuni dengan hitungan ayat atau huruf ayat tadi. Dan orang tersebut suda h dianggap berbuat baik kepada orang tuanya”.
Dalam kitab yang sama dijelaskan, Qadhi Abi Thayyib ketika ditanya tentang menghatami al-Qur’an di maqbarah (kuburan), menjawab bahwa pahalanya bagi orang yang membaca. Sedangkan mayit, seperti orang yang hadir, diharapkan mendapat barokah dan rahmat Allah swt.
Dengan demikian, jelaslah bahwa membaca al-Qur’an di pekuburan tidak dilarang oleh Agama Islam. bahkan, membaca al-Qur’an dengan pengetian tersebut disunnahkan.

maulidan

Perayaan Maulid Nabi dan Kontroversi Ma'na Bid’ah Peryataan bahwa perayaan maulid Nabi adalah amalan bid'ah adalah peryataan sangat tidak tepat, karena bid'ah adalah sesuatu yang baru atau diada-adakan dalam Islam yang tidak ada landasan sama sekali dari dari Al-Qur'an dan as-Sunah. Adapun maulid  walaupun suatu yang baru di dalam Islam akan tetapi memiliki landasan dari Al-Qur'an dan as-Sunah.

Pada maulid Nabi di dalamya banyak sekali nilai ketaatan, seperti: sikap syukur, membaca dan mendengarkan bacaan Al-Quran, bersodaqoh, mendengarkan mauidhoh hasanah atau menuntut ilmu, mendengarkan kembali sejarah dan keteladanan Nabi, dan membaca sholawat yang kesemuanya telah dimaklumi bersama bahwa hal tersebut sangat dianjurkan oleh agama dan ada dalilnya di dalam Al-Qur'an dan as-Sunah.

Pengukhususan Waktu

Ada yang menyatakan bahwa menjadikan maulid dikatakan bid'ah adalah adanya pengkhususan (takhsis) dalam pelakanaan di dalam waktu tertentu, yaitu bulan Rabiul Awal yang hal itu tidak dikhususkan oleh syariat. Pernyataan ini sebenarnaya perlu di tinjau kembali, karena takhsis yang dilarang di dalam Islam ialah takhsis dengan cara meyakini atau menetapkan hukum suatu amal bahwa amal tersebut tidak boleh diamalkan kecuali hari-hari khusus dan pengkhususan tersebut tidak ada landasan darisyar'i sendiri(Dr Alawy bin Shihab, Intabih Dinuka fi Khotir: hal.27).

Hal ini berbeda dengan penempatan waktu perayaan maulid Nabi pada bulan Rabiul Awal, karena orang yang melaksanakan maulid Nabi sama sekali tidak meyakini, apalagi menetapkan hukum bahwa maulid Nabi tidak boleh dilakukan kecuali bulan Robiul Awal, maulid Nabi bisa diadakan kapan saja, dengan bentuk acara yang berbeda selama ada nilai ketaatan dan tidak bercampur dengan maksiat.

Pengkhususan waktu maulid disini bukan kategori takhsis yang di larang syar'i tersebut, akan tetapi masuk kategori tartib (penertiban).

Pengkhususan waktu tertentu dalam beramal sholihah adalah diperbolehkan, Nabi Muhammad sendiri mengkhusukan hari tertentu untuk beribadah dan berziaroh ke masjid kuba, seperti diriwatkan Ibnu Umar bahwa Nabi Muhammad mendatangi masjid Kuba setiap hari Sabtu dengan jalan kaki atau dengan kendaraan dan sholat sholat dua rekaat di sana (HR Bukhari dan Muslim). Ibnu Hajar mengomentari hadis ini mengatakan: "Bahwa hadis ini disertai banyaknya riwayatnya menunjukan diperbolehkan mengkhususan sebagian hari-hari tertentu dengan amal-amal salihah dan dilakukan terus-menerus".(Fathul Bari 3: hal. 84)

Imam Nawawi juga berkata senada di dalam kitab Syarah Sahih Muslim. Para sahabat Anshor juga menghususkan waktu tertentu untuk berkumpul untuk bersama-sama mengingat nikmat Allah,( yaitu datangnya Nabi SAW) pada hari Jumat atau mereka menyebutnya Yaumul 'Urubah dan direstui Nabi.

Jadi dapat difahami, bahwa pengkhususan dalam jadwal Maulid, Isro' Mi'roj dan yang lainya hanyalah untuk penertiban acara-acara dengan memanfaatkan momen yang sesui, tanpa ada keyakinan apapun, hal ini seperti halnya penertiban atau pengkhususan waktu sekolah, penghususan kelas dan tingkatan sekolah yang kesemuanya tidak pernah dikhususkan oleh syariat, tapi hal ini diperbolehkan untuk ketertiban, dan umumnya tabiat manusia apabila kegiatan tidak terjadwal maka kegiatan tersebut akan mudah diremehkan dan akhirnya dilupakan atau ditinggalkan.

Acara maulid di luar bulan Rabiul Awal sebenarnya telah ada dari dahulu, seperti acara pembacaan kitab Dibagh wal Barjanji atau kitab-kitab yang berisi sholawat-sholawat yang lain yang diadakan satu minggu sekali di desa-desa dan pesantren, hal itu sebenarnya adalah kategori maulid, walaupun di Indonesia masyarakat tidak menyebutnya dengan maulid, dan jika kita berkeliling di negara-negara Islam maka kita akan menemukan bentuk acara dan waktu yang berbeda-beda dalam acara maulid Nabi, karena ekpresi syukur tidak hanya dalam satu waktu tapi harus terus menerus dan dapat berganti-ganti cara, selama ada nilai ketaatan dan tidak dengan jalan maksiat.

Semisal di Yaman, maulid diadakan setiap malam jumat yang berisi bacaan sholawat-sholawat Nabi dan ceramah agama dari para ulama untuk selalu meneladani Nabi. Penjadwalan maulid di bulan Rabiul Awal hanyalah murni budaya manusia, tidak ada kaitanya dengan syariat dan barang siapa yang meyakini bahwa acara maulid tidak boleh diadakan oleh syariat selain bulan Rabiul Awal maka kami sepakat keyakinan ini adalah bid'ah dholalah.

Tak Pernah Dilakukan Zaman Nabi dan Sohabat

Di antara orang yang mengatakan maulid adalah bid'ah adalah karena acara maulid tidak pernah ada di zaman Nabi, sahabat atau kurun salaf. Pendapat ini muncul dari orang yang tidak faham bagaimana cara mengeluarkan hukum(istimbat) dari Al-Quran dan as-Sunah. Sesuatu yang tidak dilakukan Nabi atau Sahabat –dalam term ulama usul fiqih disebut at-tark – dan tidak ada keterangan apakah hal tersebut diperintah atau dilarang maka menurut ulama ushul fiqih hal tersebut tidak bisa dijadikan dalil, baik untuk melarang atau mewajibkan.

Sebagaimana diketahui pengertian as-Sunah adalah perkatakaan, perbuatan dan persetujuan beliau. Adapun at-tark tidak masuk di dalamnya. Sesuatu yang ditinggalkan Nabi atau sohabat mempunyai banyak kemungkinan, sehingga tidak bisa langsung diputuskan hal itu adalah haram atau wajib. Disini akan saya sebutkan alasan-alasan kenapa Nabi meninggalkan sesuatu:

1. Nabi meniggalkan sesuatu karena hal tersebut sudah masuk di dalam ayat atau hadis yang maknanya umum, seperti sudah masuk dalam makna ayat: "Dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.''(QS Al-Haj: 77). Kebajikan maknanya adalah umum dan Nabi tidak menjelaskan semua secara rinci.

2. Nabi meninggalkan sesutu karena takut jika hal itu belai lakukan akan dikira umatnya bahwa hal itu adalah wajib dan akan memberatkan umatnya, seperti Nabi meninggalkan sholat tarawih berjamaah bersama sahabat karena khawatir akan dikira sholat terawih adalah wajib.

3. Nabi meninggalkan sesuatu karena takut akan merubah perasaan sahabat, seperti apa yang beliau katakan pada siti Aisyah: "Seaindainya bukan karena kaummu baru masuk Islam sungguh akan aku robohkan Ka'bah dan kemudian saya bangun kembali dengan asas Ibrahim as. Sungguh Quraiys telah membuat bangunan ka'bah menjadi pendek." (HR. Bukhori dan Muslim) Nabi meninggalkan untuk merekontrusi ka'bah karena menjaga hati mualaf ahli Mekah agar tidak terganggu.

4. Nabi meninggalkan sesuatu karena telah menjadi adatnya, seperti di dalam hadis: Nabi disuguhi biawak panggang kemudian Nabi mengulurkan tangannya untuk memakannya, maka ada yang berkata: "itu biawak!", maka Nabi menarik tangannya kembali, dan beliu ditanya: "apakah biawak itu haram? Nabi menjawab: "Tidak, saya belum pernah menemukannya di bumi kaumku, saya merasa jijik!" (QS. Bukhori dan Muslim) hadis ini menunjukan bahwa apa yang ditinggalkan Nabi setelah sebelumnya beliu terima hal itu tidak berarti hal itu adalah haram atau dilarang.

5. Nabi atau sahabat meninggalkan sesuatu karena melakukan yang lebih afdhol. Dan adanya yang lebih utama tidak menunjukan yang diutamai (mafdhul) adalah haram.dan masih banyak kemungkinan-kemungkinan yang lain (untuk lebih luas lih. Syekh Abdullah al Ghomariy. Husnu Tafahum wad Dark limasalatit tark)

Dan Nabi bersabda:" Apa yang dihalalakan Allah di dalam kitab-Nya maka itu adalah halal, dan apa yang diharamkan adalah haram dan apa yang didiamkan maka itu adalah ampunan maka terimalah dari Allah ampunan-Nya dan Allah tidak pernah melupakan sesuatu, kemudian Nabi membaca:" dan tidaklah Tuhanmu lupa".(HR. Abu Dawud, Bazar dll.) dan Nabi juga bersabda: "Sesungguhnya Allah menetapkan kewajiban maka jangan enkau sia-siakan dan menetapkan batasan-batasan maka jangan kau melewatinya dan mengharamkan sesuatu maka jangan kau melanggarnya, dan dia mendiamkan sesuatu karena untuk menjadi rahmat bagi kamu tanpa melupakannya maka janganlah membahasnya".(HR.Daruqutnhi)

Dan Allah berfirman:"Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya."(QS.Al Hasr:7) dan Allah tidak berfirman  dan apa yang ditinggalknya maka tinggalkanlah.

Maka dapat disimpulkan bahwa "at-Tark" tidak memberi faidah hukum haram, dan alasan pengharaman maulid dengan alasan karena tidak dilakukan Nabi dan sahabat sama dengan berdalil dengan sesuatu yang tidak bisa dijadikan dalil!

Imam Suyuti menjawab peryataan orang yang mengatakan: "Saya tidak tahu bahwa maulid ada asalnya di Kitab dan Sunah" dengan jawaban: "Tidak mengetahui dalil bukan berarti dalil itu tidak ada", peryataannya Imam Suyutiy ini didasarkan karena beliau sendiri dan Ibnu Hajar al-Asqolaniy telah mampu mengeluarkan dalil-dalil maulid dari as-Sunah. (Syekh Ali Jum'ah. Al-Bayanul  Qowim, hal.28)

tahlilan

Do’a, Bacaan Al-Qur’an, Shadaqoh & Tahlil untuk Orang Mati
Apakah do’a, bacaan Al-Qur’an, tahlil dan shadaqoh itu pahalanya akan sampai kepada orang mati? Dalam hal ini ada segolongan yang yang berkata bahwa do’a, bacaan Al-Qur’an, tahlil dan shadaqoh tidak sampai pahalanya kepada orang mati dengan alasan dalilnya, sebagai berikut:
وَاَنْ لَيْسَ لِلْلاِءنْسنِ اِلاَّ مَاسَعَى
Dan tidaklah bagi seseorang kecuali apa yang telah dia kerjakan”. (QS An-Najm 53: 39)
Juga hadits Nabi MUhammad SAW:
اِذَامَاتَ ابْنُ ادَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ اِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ اَوْعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ اَوْوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْلَهُ
Apakah anak Adam mati, putuslah segala amal perbuatannya kecuali tiga perkara; shadaqoh jariyah, ilmu yang dimanfa’atkan, dan anak yang sholeh yang mendo’akan dia.
Mereka sepertinya, hanya secara letterlezk (harfiyah) memahami kedua dalil di atas, tanpa menghubungkan dengan dalil-dalil lain. Sehingga kesimpulan yang mereka ambil, do’a, bacaan Al-Qur’an, shadaqoh dan tahlil tidak berguna bagi orang mati. Pemahaman itu bertentangan dengan banyak ayat dan hadits Rasulullah SAW beberapa di antaranya :
وَالَّذِيْنَ جَاءُوْامِنْ بَعْدِ هِمْ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَااغْفِرْلَنَا وَلاِءخْوَنِنَاالَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِاْلاِءْيمن
Dan orang-orang yang datang setelah mereka, berkata: Yaa Tuhan kami, ampunilah kami dan ampunilah saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dengan beriman.” (QS Al-Hasyr 59: 10)
Dalam hal ini hubungan orang mu’min dengan orang mu’min tidak putus dari Dunia sampai Akherat.
وَاسْتَغْفِرْلِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنتِ
Dan mintalah engkau ampun (Muhammad) untuk dosamu dan dosa-dosa mu’min laki dan perempuan.” (QS Muhammad 47: 19)
سَأَلَ رَجُلٌ النَّبِىَّ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَارَسُوْلَ اللهِ اِنَّ اُمِى مَاتَتْ افَيَنْفَعُهَا اِنْ تَصَدَّقْتَ عَنْهَا ؟ قَالَ نَعَمْ
Bertanya seorang laki-laki kepada Nabi SAW; Ya Rasulullah sesungguhnya ibu saya telah mati, apakah berguna bagi saya, seandainya saua bersedekah untuknya? Rasulullah menjawab; yaa berguna untuk ibumu.” (HR Abu Dawud).
Dan masih banyak pula dalil-dalil yang memperkuat bahwa orang mati masih mendapat manfa’at do’a perbuatan orang lain. Ayat ke 39 Surat An-Najm di atas juga dapat diambil maksud, bahwa secara umum yang menjadi hak seseorang adalah apa yang ia kerjakan, sehingga seseorang tidak menyandarkan kepada perbuatan orang, tetapi tidak berarti menghilangkan perbuatan seseorang untuk orang lain.
Di dalam Tafsir ath-Thobari jilid 9 juz 27 dijelaskan bahwa ayat tersebut diturunkan tatkala Walid ibnu Mughirah masuk Islam diejek oleh orang musyrik, dan orang musyrik tadi berkata; “Kalau engkau kembali kepada agama kami dan memberi uang kepada kami, kami yang menanggung siksaanmu di akherat”.
Maka Allah SWT menurunkan ayat di atas yang menunjukan bahwa seseorang tidak bisa menanggung dosa orang lain, bagi seseorang apa yang telah dikerjakan, bukan berarti menghilangkan pekerjaan seseorang untuk orang lain, seperti do’a kepada orang mati dan lain-lainnya.
Dalam Tafsir ath-Thobari juga dijelaskan, dari sahabat ibnu Abbas; bahwa ayat tersebut telah di-mansukh atau digantikan hukumnya:
عَنِ ابْنِى عَبَّاسٍ: قَوْلُهُ تَعَالى وَأَنْ لَيْسَ لِلاِءنْسنِ اِلاَّ مَا سَعَى فَأَنْزَلَ اللهُ بَعْدَ هذَا: وَالَّذِيْنَ أَمَنُوْاوَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِيَتُهُمْ بِاِءْيمنٍ أَلْحَقْنَابِهِمْ ذُرِيَتَهُمْ فَأَدْخَلَ اللهُ الأَبْنَاءَ بِصَلاَحِ اْلابَاءِاْلجَنَّةَ
Dari sahabat Ibnu Abbas dalam firman Allah SWT Tidaklah bagi seseorang kecuali apa yang telah dikerjakan, kemudian Allah menurunkan ayat surat At-Thuur; 21. “dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, kami pertemukan anak cucu mereka dengan mereka, maka Allah memasukkan anak kecil ke surga karena kebaikan orang tua.
Syaekhul Islam Al-Imam Ibnu Taimiyah dalam Kitab Majmu’ Fatawa jilid 24, berkata: “Orang yang berkata bahwa do’a tidak sampai kepada orang mati dan perbuatan baik, pahalanya tidak sampai kepada orang mati,” mereka itu ahli bid’ah, sebab para ulama’ telah sepakat bahwa mayyit mendapat manfa’at dari do’a dan amal shaleh orang yang hidup.

Al Maghfurlah Al Habib Ahmad BinAbdullah Bin Tholib Al Athas. Keramat sapuro-Pekalongan


pekalongan
Manaqib Al Maghfurlah Al Habib Ahmad BinAbdullah Bin Tholib Al Athas.
Keramat sapuro-Pekalongan
Makam keramat Sapuro Kota Pekalongan yang lokasinya dekat dengan jalur pantura ini laksanamagnet bagi masyarakat Kota Batik Pekalongan dan sekitarnya.
Komplek pemakaman umum kelurahan Sapuro ini menjadi salah satu tujuan wisata religius di karenakan di komplek pemakaman ini terdapat makam Al HabibAhmad Bin Abdullah Bin Tholib Al Athas, seorang tokoh penyebar agama Islam di Kota Pekalongan dan sekitarnya.
Apalagi setiap hari kamis sore sampai hari jum’at,komplek pemakaman ini penuh sesak dengan para peziarah yang datang dari berbagai penjuru kota di Indonesia. Lokasi makam Habib Ahmad bin Abdullah binThalib Al Athas ini sangat mudah di jangkau karena tempatnya sangat strategis. Yakni kurang lebih 100 meterdari jalan Jendral Sudirman.
Sekitar 5oo meter dari perempatan Ponolawen ke arah timur, atau sekitar 2 kilometer ke arah barat dari Terminal induk Kota Pekalongan.
Al Habib Ahmad Bin Abdullah Bin Thalib Alathas di lahirkan di kota Hajren Hadramaut Yaman pada tahun 1255 hijriyah atau tahun 1836 masehi. Beliau menghabiskan masa remajanya untuk menimba ilmu agama di kota asalnya. Beragam disiplin ilmu agama berhasil beliau raih dengan gemilang.
Setelah Habib Ahmad muda menguasai Al Qur’an dan banyak mendalami ilmu-ilmu agama di daerah asalnya, beliau melanjutkan menuntut ilmu kepada para pakar dan ulama-ulama terkenal yang mukim di Mekkah al Mukaromah dan Madinah Al Munawwaroh.
Sekalipun banyak mendapat tempaan ilmu dari banyak guru di kedua kota suci ini, namun guru yang paling utama dan paling besar pengaruhnya bagi pribadi Habib Ahmadadalah As Sayyid Ahmad Zaini Dahlan.
Assayyid Ahmad Zaini Dahlan adalah seorang pakar ulama yang sangat banyak muridnya di Mekkah al Mukarromah maupun di negara-negara lainnya. Banyak ulama-ulama dari Indonesia yang juga berguru kepada Assayyid Ahmad Zaini Dahlan. Seperti, Hadrotul Fadhil Mbah KH Kholil Bangkalan Madura dan Hadrotusy Syaikh KH Hasyim Asy’ari Jombang Jawa Timur. Kedua ulama ini adalah cikal bakal jamiyyah Nahdlotul Ulama.
Setelah selesai dan luluis menempuh pendidikan dan latihan, terutama latihan kerohanian secara mendalam, Habib Ahmad mendapat tugas dari gurunya untuk berdakwah menyebarkan syariat agama Islam di kota Mekkah.
Dikota kelahiran Nabi Saw ini, Habib Ahmad sangat dicintai dan di hormati oleh segala lapisan masyarakat, karena Habib Ahmad berusaha meneladani kehidupan Rosulallah Saw. Habib Ahmad mengajar dan berdakwah di kota Mekkah sekitar tujuh tahun. Setelah itu beliau pulang ke kampung kelahiran beliau,Hadramaut.
Tidak lama mukim di kota kelahirannya, Habib Ahmad merasa terpanggil untuk berdakwah di Asia Tenggara. Dan pilihan beliau jatuh ke Indonesia. Karena memang pada waktu itu sedang banyak-banyaknya imigran dari Hadramaut yang datang keIndonesia. Di samping untuk berdagang juga untuk mensyiarkan ajaran Islam.
Setibanya Habib Ahmad di Indonesia,beliau memilih tinggal di Pekalongan Jawa Tengah. Karena Habib Ahmad melihat kondisi keagamaan di Pekalongan yang masih sangat minim. Dan saat pertama menginjakkan kakinya di Pekalongan, Habib Ahmadmelaksanakan tugas sebagai imam di Masjid Wakaf yang ada di kampung Arab (sekarang Jl. Surabaya).
Dari Masjid Wakaf inilah Habib Ahmad memulai dakwah Islamiyyahnya. Dari pengajian kitab-kitab fiqih, pembacaan daiba’i, barzanji, pembacaan wirid,dzikir dan lain sebagainya.
Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Alathas juga dikenal sebagai ulama hafidz ( penghafal al Qur’an)
Habib Ahmad adalah seorang ulama yang selalu tampil dengan rendah hati (tawadhu),senang bergaul dan gemar bersilaturrohim dengan siapa saja. Habib Ahmadpaling tidak senang,bahkan marah kalau ada yang mengkultuskan dirinya.
Kendati demikian, Habib Ahmad tidak dapat mentolerir terhadap hukum-hukum dari Allah dan Rosul-Nya yang di remehkan oleh orang lain. Habib Ahmad sangat teguh dan keras memegang syariat Islam,seperti masalah amar ma’ruf nahi mungkar.
Pada zamannya dahulu, Habib Ahmad ibarat Kholifah Umar bin Khothob yang sangat tegas dan keras menentang setiap kemungkaran. Tidak peduli yang berbuat mungkar itu pejabat maupun orang awam.
Satu contoh, para wanita tidak akan berani lalu lalang di depan kediaman Habib Ahmadkalau tidak mengenakan tutup kepala (kerudung). Kalau ketahuan oleh Habib Ahmadpasti langsung kena teguran. Tidak peduli wanita muslim ataupun non muslim.
Menjelang akhir hayatnya, Habib Ahmad bin Abdullah bin Tholib Alathas mengalami patah tulang pada pangkal pahanya,akibat jatuh hingga beliau tidak sanggup berjalan.
Sejak saat itu beliau mengalihkan semua kegiatan keagamaannya di kediamannya, termasuk sholat berjamaah dan pengajian.
Penderitaan ini berlanjut sampai beliau di panggil pulang ke Ramatullah. Habib AhmadBin A bdullah Bin Thalib Alathas meninggal dunia pada malam ahad 24 rajab 1347 hijriyyah atau tahun 1928 masehi. Habib Ahmad meninggal dunia dalam usia 92 tahun.
Walaupun Habib Ahmad meninggal dunia pada tanggal 24 rajab, akan tetapi acara khaulnya di peringati setiap tanggal 14 sya’ban, bertepatan dengan malam nisyfu sya’ban.

Biografi Habib Lutfi bin Ali bin Yahya bin Hasyin Al Athas


Habib Lutfi dilahirkan di Pekalongan pada hari Senin, pagi tanggal 27 Rajab tahun 1367 H. Bertepatan tanggal 10 November, tahun 1947 M.
nasab beliau :

• Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Hasyim bin Umar bin Thoha bin Hasan bin Thoha bin Muhammad al-Qodhi bin Thoha binMuhammad bin Syekh bin Ahmad bin Yahya Ba’Alawy bin Hasan bin Alwy bin Ali bin Al Imam Alwy an-Nasiq bin Al Imam Muhammad Maulad Dawileh bin Imam Ali Maula Darrak bin Al Imam Alwy Al-Ghuyyur bin Al iMam Al-Faqih al-Muqaddam Muhammd Ba’Alawy bin Al Imam Ali bin Al Imam Muhammad Shahib Marbath bin Ali Khali Qasam bin Alwy binMuhammad bin Alwy Ba’Alawy bin Al Imam Ubaidullah bin Al Imam Ahmad Al-Muhajir bin Al Imam Isa an-Naqib ar-Rumi bin Al Imam Muhammad an-Naqib bin Al Imam Ali al-Uraidhi bin Al Imam Ja’far Shadiq bin Al Imam Muhammad al-Baqir bin Al Imam Ali Zainal Abiddin bin Al Imam Husein ash-Sibth bin Sayidatina Fathimah az-Zahra + Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib – Rasulullah SAW
Pendidikan pertama Habib Luthfi diterima dari ayahanda Al Habib Al Hafidz ‘Ali Al Ghalib. Selanjutnya beliau belajar di Madrasah Salafiah. Guru-guru beliau di Madrasah itu diantaranya:
• Al Alim al ‘Alamah Sayid Ahmad bin ‘Ali bin Al Alamah al Qutb As Sayid ‘Ahmad binAbdullah bin Thalib al Athas
• Sayid al Habib al ‘Alim Husain bin Sayid Hasyim bin Sayid Umar bin Sayid Thaha bin Yahya (paman beliau sendiri)
• Sayid al ‘Alim Abu Bakar bin Abdullah bin ‘Alawi bin Abdullah bin Muhammad al ‘Athas Bâ ‘Alawi
• Sayid ‘Al Alim Muhammad bin Husain bin Ahmad bin Abdullah bin Thalib al ‘Athas Bâ ‘Alawi.
Beliaubelajar di madrasah tersebut selama tiga tahun.
Perjalanan Ilmiah
Selanjutnya pada tahun 1959 M, beliau melanjutkan studinya ke pondok pesantren Benda Kerep, Cirebon. Kemudian Indramayu, Purwokerto dan Tegal. Setelah itu beliau melaksanakan ibadah haji serta menjiarahi datuknya Rasulullah Saw., disamping menimba ilmu dari ulama dua tanah Haram; Mekah-Madinah. Beliau menerima ilmu syari’ah, thariqah dan tasawuf dari para ulama-ulama besar, wali-wali Allah yang utama, guru-guru yang penguasaan ilmunya tidak diragukan lagi.
Dari Guru-guru tersebut beliau mendapat ijazah Khas (khusus), dan juga ‘Am (umum) dalam Da’wah dan nasyru syari’ah (menyebarkan syari’ah), thariqah, tashawuf, kitab-kitab hadits, tafsir, sanad, riwayat, dirayat, nahwu, kitab-kitab tauhid, tashwuf, bacaan-bacaan aurad, hizib-hizib, kitab-kitab shalawat, kitab thariqah, sanad-sanadnya, nasab, kitab-kitab kedokteran. Dan beliau juga mendapat ijazah untuk membai’at.
Silsilah Thariqah dan Baiat:
Al Habib Muhammad Luthfi Bin Ali Yahya mengambil thariqah dan hirqah Muhammadiah dari para tokoh ulama. Dari guru-gurunya beliau mendapat ijazah untuk membaiat dan menjadi mursyid. Diantara guru-gurunya itu adalah:
Thariqah Naqsyabandiah Khalidiyah dan Syadziliah al ‘Aliah
Dari Al Hafidz al Muhadits al Mufasir al Musnid al Alim al Alamah Ghauts az Zaman Sayidi Syekh Muhammad Ash’ad Abd Malik bin Qutb al Kabir al Imam al Alamah Sayidi SyekhMuhammad Ilyas bin Ali bi Hamid
• Sanad Naqsyabandiayah al Khalidiyah:
Sayidi Syekh ash’ad Abd Malik dari bapaknya Sayidi Syekh Muhammad Ilyas bin Ali bi Hamid dari Quth al Kabir Sayid Salaman Zuhdi dari Qutb al Arif Sulaiman al Quraimi dari Qutb al Arif Sayid Abdullah Afandi dari Qutb al Ghauts al Jami’ al Mujadid MaulanaMuhammad Khalid sampai pada Qutb al Ghauts al Jami’ Sayidi Syah MuhammadBaha’udin an Naqsyabandi al Hasni.
• Syadziliyah :
Dari Sayidi Syekh Muhammad Ash’Ad Abd Malik dari al Alim al al Alamah Ahmad an Nahrawi al Maki dari Mufti Mekah-Madinah al Kabir Sayid Shalih al Hanafi ra.
Thariqah al ‘Alawiya al ‘Idrusyiah al ‘Atha’iyah al Hadadiah dan Yahyawiyah:
• Dari al Alim al Alamah Qutb al Kabir al Habib ‘Ali bin Husain al ‘Athas.
• Afrad Zamanihi Akabir Aulia al Alamah al habib Hasan bin Qutb al Ghauts Mufti al kabir al habib al Iamam ‘Utsman bin Abdullah bin ‘Aqil bin Yahya Bâ ‘Alawi.
• Al Ustadz al kabir al Muhadits al Musnid Sayidi al Al Alamah al Habib Abdullah bin Abd Qadir bin Ahmad Bilfaqih Bâ ‘Alawi.
• Al Alim al Alamah al Arif billah al Habib Ali bin Sayid Al Qutb Al Al Alamah Ahmad binAbdullah bin Thalib al ‘Athas Bâ ‘Alawi.
• Al Alim al Arif billah al Habib Hasan bin Salim al ‘Athas Singapura.
• Al Alim al Alamah al Arif billah al Habib Umar bin Hafidz bin Syekh Abu Bakar bin Salim Bâ ‘Alawi.
Dari guru-guru tersebut beliau mendapat ijazah menjadi mursyid, hirqah dan ijazah untuk baiat, talqin dzikir khas dan ‘Am.
Thariqah Al Qadiriyah an Naqsyabandiyah:
• Dari Al Alim al Alamah tabahur dalam Ilmu syaria’at, thariqah, hakikat dan tashawuf Sayidi al Imam ‘Ali bin Umar bin Idrus bin Zain bin Qutb al Ghauts al Habib ‘Alawi Bâfaqih Bâ ‘Alawi Negara Bali. Sayid Ali bin Umar dari Al Alim al Alamah Auhad Akabir Ulama Sayidi Syekh Ahmad Khalil bin Abd Lathif Bangkalan. ra.
Dari kedua gurunya itu, al Habib Muhammad Luthfi mendapat ijazah menjadi mursyid, hirqah, talqin dzikir dan ijazah untuk bai’at talqin.
Jami’uthuruq (semua thariqat) dengan sanad dan silsilahnya:
Al Imam al Alim al Alamah al Muhadits al Musnid al Mufasir Qutb al Haramain SyekhMuhammad al Maliki bin Imam Sayid Mufti al Haramain ‘Alawi bin Abas al Maliki al Hasni al Husaini Mekah.
Dari beliau, Maulana Habib Luthfi mendapat ijazah mursyid, hirqah, talqin dzikir, bai’at khas, dan ‘Am, kitab-kitab karangan syekh Maliki, wirid-wirid, hizib-hizib, kitab-kitab hadis dan sanadnya.
Thariqah Tijaniah:
• Al Alim al Alamah Akabir Aulia al Kiram ra’su al Muhibin Ahli bait Sayidi Sa’id bin Armiya Giren Tegal. Kiyai Sa’id menerima dari dua gurunya; pertama Syekh’Ali bin Abu Bakar Bâsalamah. Syekh Ali bin Abu Bakar Bâsalamah menerima dari Sayid ‘Alawi al Maliki. Kedua Syekh Sa’id menerima langsung dari Sayid ‘Alawi al Maliki.
Dari Syekh Sa’id bin Armiya itu Maulana Habib Luthfi mendapat ijazah, talqin dzikir, dan menjadi mursyid dan ijazah bai’at untuk khas dan ‘am.
Kegiatan-kegiatan Maulana Habib:
• Pengajian Thariqah tiap jum’at Kliwon pagi (Jami’ul Usul thariq al Aulia).
• Pengajian Ihya Ulumidin tiap Selasa malam.
• Pengajian Fath Qarib tiap Rabu pagi(husus untuk ibu-ibu)
• Pengajian Ahad pagi, pengajian thariqah husus ibu-ibu.
• Pengajian tiap bulan Ramadhan (untuk santri tingkat Aliyah).
• Da’wah ilallah berupa umum di berbagai daerah di Nusantara.
• Rangakain Maulid Kanzus (lebih dari 60 tempat) di kota Pekalongan dan daerah sekitarnya. Dan kegiatan lainnya.
Jabatan Organisasi:
• Ra’is ‘Am jam’iyah Ahlu Thariqah al Mu’tabarah an Nahdiyah.
• Ketua Umum MUI Jawa Tengah dll.

Biografi KH Hazim Muzadi

PDFToleran Tanpa Mengorbankan Aqidah

Ia dikenal sosok yang moderat dan toleran. Namun selalu berusaha mempertahankan prinsip-prinsip agama. Baginya, sikap moderat dan toleran tidak boleh mengorbankan aqidah.



Sejak kemunculannya, Nahdlatul Ulama telah dan terus mengukuhkan dirinya sebagai organisasi Islam di Indonesia yang harus dipertimbangkan. Dari zaman ke zaman, organisasi yang memayungi kaum Ahlussunanah wal Jama’ah (di samping beberapa organisasi lain yang sealiran) ini banyak melahirkan dan memunculkan tokoh-tokoh besar yang tidak hanya menjadi tokoh kaum muslimin Indonesia, melainkan juga tokoh bangsa secara keseluruhan.

Di antara tokoh yang dibesarkan oleh NU dan juga mengabdikan dirinya untuk NU sejak muda hingga kini adalah K.H. Dr. Hasyim Muzadi. Perjalanan pengabdiannya di NU adalah perjalanan cukup panjang, mulai dari menjadi ketua ranting NU di Bululwang, Malang, hingga mendapatkan amanah sebagai ketua umum PBNU selama dua periode, 2004-2009 dan 2009-2011.  

Berhenti mengemban amanah sebagai ketua umum PBNU tidak membuatnya kehilangan kesibukan, bahkan kesibukannya terus bertambah. Selain mengelola Pesantren Al-Hikam, yang didirikannya di bilangan Depok, Jawa Barat, ia pun tetap aktif dalam berbagai kegiatan di dalam dan luar negeri. Undangan-undangan untuk bicara dalam pelbagai acara pun tetap terus berdatangan, termasuk ceramah-ceramah keagamaan yang memang telah menjadi aktivitasnya sejak muda.

Adik kandung salah seorang tokoh sepuh NU K.H. Muhith Muzadi ini lahir di Tuban, 8 Agustus 1944. Tercatat dua kali ia menjabat ketua umum PBNU, yaitu periode 1999-2004 dan 2004-2009. Ia juga pengasuh Pondok Pesantren Al-Hikam, Malang, Jawa Timur.

Kiai Hasyim, begitu ia akrab disapa, menempuh jalur pendidikan dasarnya di Madrasah Ibtidaiyah di Tuban pada tahun 1950, dan menuntaskan pendidikan tingginya di Institut Agama Islam Negeri IAIN Malang, Jawa Timur, pada tahun 1969. Selama puluhan tahun pengabdiannya, sebagian besar ia berada di wilayah Jawa Timur. Berbagai aktivitas organisasinya pun ia lalui di daerah basis NU terbesar ini.

Kiai Hasyim pernah menjadi ketua Pengurus Wilayah Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor) Jawa Timur periode 1983-1987. Pada periode hampir bersamaan, ia menjadi ketua PP GP Anshor tahun 1985-1987. Jauh sebelumnya, tahun 1966 ia pernah memimpin Cabang PMII Malang. Hal inilah yang menjadi modal struktural kuat Hasyim untuk terus berkiprah di NU.

Dalam periode yang panjang, ia menekuni aktivitas di NU secara berjenjang, sehingga memberikan pengalaman yang banyak dan berharga baginya. Ia memulainya dari ketua ranting NU Bululawang, Malang.

Kiprah di NU mulai dikenal luas ketika pada tahun 1992 ia terpilih menjadi ketua Pengurus Wilayah NU Jawa Timur, yang kemudian menjadi tangga baginya untuk menjadi ketua PBNU pada tahun 1999.

Sebagai organisasi keagamaan yang memiliki massa besar, NU selalu menjadi daya tarik bagi partai politik untuk dijadikan basis dukungan. Hasyim pun tak mengelak dari kenyataan tersebut. Ia pernah menjadi anggota DPRD Tingkat I Jawa Timur pada tahun 1986, yang ketika itu masih bernaung di bawah Partai Persatuan Pembangunan.

Namun, jabatan sebagai ketua umum PBNU-lah yang membuat Hasyim sering menjadi pembicaraan publik dan banyak diundang ke berbagai wilayah. Saat telah menjadi pucuk pimpinan NU, wilayah aktivitas alumnus Pondok Pesantren Gontor Ponorogo ini tidak hanya meliputi Jawa Timur, namun telah menasional.

Basis struktural yang kuat itu masih pula ditopang oleh modal kultural yang sangat besar, karena ia memiliki Pesantren Al-Hikam, Malang, yang memiliki santri yang tidak sedikit dan memiliki kemampuan intelektual yang tidak bisa diremehkan, karena mereka juga para mahasiswa.

Selain sebagai ulama, Kiai Hasyim juga dikenal sebagai sosok nasionalis, demokrat, yang sangat toleran. Ketika terjadi Peristiwa 11 September, yakni tragedi runtuhnya gedung WTC di Amerika Serikat, kiai yang dikaruniai enam orang putra ini tampil dengan memberikan penjelasan kepada dunia internasional bahwa umat Islam Indonesia adalah umat Islam yang moderat, kultural, dan tidak memiliki kaitan dengan organisasi kekerasan internasional. Ia memang salah satu dari sekian tokoh umat di Indonesia yang dijadikan referensi oleh dunia Barat dalam menjelaskan karakteristik umat Islam di Indonesia.

Kiai Hasyim terjun dalam kegiatan politik praktis sejak Orde Baru masih berkuasa. Dalam perjalanan karier politiknya, ia pernah membuat langkah yang agak mengejutkan, utamanya bagi kalangan nahdliyin. Yaitu, menerima lamaran PDI Perjuangan untuk menjadi cawapres sebagai pendamping Megawati. ”Saya ingin menyatukan kaum nasionalis dan agama,” ujarnya ketika berorasi dalam deklarasi pasangan capres dan cawapres Megawati-Hasyim Muzadi di tahun 2004 itu.

Saat itu tak sedikit yang mencibir dan menyayangkan langkahnya terjun ke politik praktis, termasuk pewaris darah biru kaum nahdliyin, Gus Dur.

Terlepas dari hasil yang dicapainya kemudian, langkahnya maju sebagai cawapres tentu memberikan pengalaman yang tidak sedikit baginya dan tentu semakin mematangkan pribadinya.

Pengalaman organisasinya segudang. Ia pernah aktif di PII (Pelajar Islam Indonesia) tahun 1960-1964, kemudian menjadi ketua ranting NU Bululawang-Malang, lalu dipercaya sebagai ketua Anak Cabang GP Ansor Bululawang-Malang 1965. Ia pun pernah menjadi ketua Cabang PMII Malang 1966, lalu ketua KAMI Malang 1966, ketua Cabang GP Ansor Malang 1967-1971, wakil ketua PCNU Malang 1971-1973, ketua DPC PPP Malang 1973-1977, ketua PCNU Malang 1973-1977, ketua PW GP Ansor Jawa Timur 1983-1987, ketua PP GP Ansor 1985-1987, sekretaris PWNU Jawa Timur 1987-1988, wakil ketua PWNU Jawa Timur 1988-1992, ketua PWNU Jawa Timur 1992-1999, dan mencapai puncaknya ketika menjabat ketua umum PBNU periode 1999-2004 dan periode 2004-2009.

Di kancah politik, ia juga pernah menjadi anggota DPRD Tingkat II Malang, Jawa Timur, dan kemudian menjadi anggota DPRD Tingkat I Jawa Timur 1986-1987

Sedangkan pendidikannya dimulai dari Madrasah lbtidaiyah Tuban, Jawa Timur, 1950-1953, kemudian SD Tuban, Jawa Timur, 1954-1955, dilanjutkan ke SMPN I Tuban, Jawa Timur, 1955-1956. Setelah itu perjalanan keilmuannya membawanya ke Pesantren Gontor, Ponorogo, dan menimba ilmu di sana dalam kurun waktu 1956 sampai 1962.

Tak puas hanya belajar di Gontor, ia pun sempat belajar di pesantren-pesantren salaf, yakni di Pesantren Senori (Jawa Timur) dan kemudian Pesantren Lasem (Jawa Tengah) meskipun tidak lama. Tahun 1964 ia mengikuti kuliah di IAIN Malang hingga selesai tahun 1969.

Dalam musim haji tahun ini, ia dipercaya sebagai wakil amirul hajj Indonesia mendampingi Menteri Agama Suryadharma Ali, yang menjadi amirul hajj. Saat wukuf di Arafah, Kiai Hasyim Muzadi-lah yang menyampaikan khutbah wukuf. Banyak yang menilai, apa yang disampaikannya sangat bagus dan berbobot. Demikianlah memang adanya. 

Sejak jauh sebelum menjadi ketua PBNU sampai ketika menjabatnya dan hingga kini setelah tidak lagi menjadi ketua PBNU, Kiai Hasyim juga terus mengikuti dan mencermati perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahkan secara aktif melakukan langkah-langkah nyata untuk ikut berperan membenahi persoalan-persoalan umat dan bangsa. Misalnya saja dalam kaitan aksi-aksi terorisme dan radikalisme.

Kiai Hasyim, yang kini masih menjabat sekretaris jenderal International Conference of Islamic Scholar (ICIS), mengatakan, penanggulangan aksi terorisme dan radikalisme tidak bisa hanya dilakukan satu institusi, tetapi harus bersama-sama, melibatkan berbagai unsur. “Aksi terorisme dan gerakan radikalisme sudah menjadi ancaman bagi masyarakat. Untuk itu penanganannya harus dilakukan bersama-sama,” katanya di sela-sela acara Training of Trainers Ulama dan Pimpinan Pondok Pesantren se-Indonesia di Pesantren Al-Hikam, Depok, Jawa Barat, Minggu 16 Oktober 2011.

Ia juga menegaskan, Islam moderat yang tetap mengadopsi kearifan lokal perlu terus dikembangkan, karena, berdasarkan pengalamannya, konsep Islam moderat yang sering disampaikannya dalam berbagai forum internasional mendapatkan sambutan yang cukup baik.

“Di Indonesia penerapan hidup berdampingan dan toleransi antar-sesama berjalan dengan baik, dan itu diakui dunia, namun kita belum sepenuhnya menggali dan menerapkan kemampuan itu,” ujarnya.

Untuk itu, katanya, Islam moderat yang menekankan Islam sebagai rahmatan lil alamin (rahmat bagi alam semesta) adalah yang harus diterapkan, sehingga sudah saatnya warga NU memperkuatnya dengan mengumpulkan khazanah pemikiran untuk didokumentasikan dengan baik sebagai bahan dakwah.

Selain itu, katanya, juga perlu adanya perbaikan berbagai sistem di Indonesia. Ia mencontohkan, UU yang berlaku saat ini membuat pihak eksekutif mengalami keterbatasan dalam menjalankan fungsinya dan terperangkap dalam jebakan sistem. “Ini menyebabkan pemimpinnya ragu menjalankan kebijakan, karena dibatasi oleh sistem yang ada,” ujarnya.

Polisi, ia melanjutkan, juga baru bisa menangkap pelaku teroris kalau sudah melakukan pengeboman dan teror, karena mereka bisa dianggap melakukan pelanggaran HAM jika tidak ada bukti.

Karena beberapa pelaku teroris ada yang pernah belajar di pesantren, selama ini terorisme sering dikaitkan dengan pesantren. Meskipun demikian, ia sangat mewanti-wanti, jangan sampai langkah-langkah yang dilakukan untuk mengatasi masalah itu merugikan pesantren. Apalagi dijadikan alat untuk membatasi ruang gerak pesantren. Harus tepat sasaran dan harus dapat membedakan mana pesantren yang terkait dengan gerakan-gerakan itu dan mana yang bukan. Itu harapan yang sangat ditekankannya. Bahkan faktanya, tidak satu pun teroris itu berasal dari pesantren NU, atau yang sealiran.
Ia juga mengatakan bahwa mereka yang termasuk dalam kelompok garis keras itu harus dirangkul dan disadarkan, bukan dimusuhi dan dibasmi. Yang harus dimusuhi dan dibasmi adalah tindakannya dan pemikirannya, bukan orangnya. Kecuali mereka yang telah melakukan teror dan tindakan-tindakan kriminal. Tentu harus ditangkap dan diproses secara hukum.     

Lebih lanjut ia mengatakan, sejak awal NU tetap konsisten menjadikan Pancasila sebagai ideologi negara, karena substansi Pancasila juga merupakan bagian darikaidah ushuliyah.

“Perjuangan merebut kemerdekaan merupakan hasil jerih payah semua pejuang warga Indonesia, tanpa pandang bulu,” katanya.

Di sisi lain, ia juga mengingatkan bahwa liberalisasi agama perlu mendapatkan perhatian serius karena dapat mengakibatkan dampak buruk dalam kehidupan keagamaan. “Liberalisasi agama memiliki dampak yang bahaya bagi aqidah Islam, terutama di kalangan kaum muda,” kata Kiai Hasyim dalam acara tersebut. Dalam konteks inilah, kita, umat Islam, seharusnya tidak memberikan ruang bagi mereka untuk mengembangkan pemikirannya yang merusak prinsip-prinsip aqidah. Namun, kita juga tidak boleh terjebak pada tindakan yang anarkis.

Ia mengatakan, liberalisasi agama telah menjadikan obyek sasarannya pada dua ormas besar, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Secara makro, liberalisasi agama adalah bagian dari liberalisasi secara umum.

Hasyim Muzadi menilai, Indonesia saat ini dipojokkan dan diganggu, dari dalam maupun luar.

Dikatakannya, demokrasi yang sudah berjalan saat ini mendapatkan ujian. Ibarat perahu, kita ini diombang-ambing di tengah laut lepas, dibiarkan tanpa ada penunjuk arah.

Ia mengatakan, untuk mengatasi ujian itu salah satunya adalah melalui Islam yang moderat, yaitu antara liberal dan radikal. Dengan kata lain, NU, yang terkenal moderat, bisa menjadi jalan tengah di antara dua gerakan tersebut.

Dikatakannya, hal itu bisa dilakukan dengan cara mengumpulkan khazanah pemikiran Walisanga dan ulama untuk didokumentasikan secara baik.

Di tengah-tengah kesibukannya, beberapa buku berbobot telah lahir lewat goresan penanya. Di antaranya Membangun NU Pasca Gus Dur (Grasindo, Jakarta, 1999),NU di Tengah Agenda Persoalan Bangsa (Logos, Jakarta, 1999), dan Menyembuhkan Luka NU (Logos, Jakarta, 2002).

Biografi KH Yahya Wahid Dahlan AlMutakamakin






kk
Secara akademis, ilmu sains, teknologi, dan sebagainya, mereka memang menguasai dengan baik. Namun jika pemahaman spiritualnya kering, akan muncul keadaan seperti sekarang ini: pejabat pintar tapi keblinger, pintar membodohi rakyat.




Melihat nama belakang tamu kita ini, ingatan kita segera tertuju pada satu sosok ulama kharismatis, asli Kajen, Jawa Tengah, Syaikh Ahmad Mutamakkin. Konon, Mbah Mutamakkin, sebutan populer Syaikh Ahmad Mutamakkin, adalah seorang tokoh yang menjadi cikal bakal atau nenek moyang orang Kajen dan sekitarnya, termasuk Purwodadi. Salah satunya, ya, Gus Yahya, demikian biasanya K.H. Yahya Al-Mutamakkin disapa.

Nama belakang “Al-Mutamakkin” tentu diambil dari nama sang buyut. Menurut Gus Yahya, penisbahan nama sang leluhur bukan untuk gagah-gagahan, melainkan menjaga silsilah. Lebih dari itu, sang abah, K. H. Abdul Wahid Al-Mutamakkin, ingin agar nama itu dapat menjadi sesuatu yang membuat putranya selalu bercermin dengan kealiman Mbah Mutamakkin.

Sementara nama Yahya itu sendiri diambil abahnya, yang terilhami dari nama seorang waliyullah asal Blora, Kiai Yahya. Semasa hidupnya, Kiai Yahya sengaja menjauh dari kota untuk menghindari fitnah, menuju ke pelosok desa untuk beribadah. Ulama-ulama alim dahulu memang seperti ini. Bila di kota sudah semakin ramai dan penuh maksiat, ia akan hijrah ke desa yang lebih kondusif untuk ibadah.

Seperti yang pernah dilakukan datuk para habib, Imam Ahmad bin Isa Al-Muhajir. Kala itu, Al-Muhajir hendak bertolak dari Baghdad lantaran daerah itu sudah cukup ramai. Untuk mendapatkan tempat yang lebih steril dari fitnah, ia beserta rombongan hijrah ke Hadhramaut.

Lagi-lagi, sang abah memiliki tujuan khusus dengan nama yang diberikannya pada sang putra. Apa lagi kalau bukan menjadi doa agar Gus Yahya mampu meneladani akhlaq dan ilmu Kiai Yahya. Maka, sejak lahir pada tahun 1975, nama “Yahya Al-Mutamakkin” menjadi nama resmi Gus Yahya, sapaan akrabnya.

Kepribadian Gus Yahya amat bersahaja. Tutur katanya lembut, bahasanya santun, suaranya pelan, namun tetap terdengar tegas. Ia juga sangat rendah hati. Wawasan keagamaannya luas. Dalam perbincangan, sesekali ia menyitir ayat-ayat Al-Qur’an dan sabda Rasulullah SAW.

Nyantri ke Luar Negeri
Sedari kecil, Gus Yahya mengenyam pendidikan agama dengan baik. Lazimnya anak kiai pada masa itu yang mendapatkan pendidikan agama pertama langsung dari sang abah, ia pun demikian. Dengan telaten abahnya mengajar Gus Yahya.

Sebetulnya ia sempat sekolah formal hingga kelas 3 SD. Namun, karena satu dan lain hal, akhirnya ia keluar dan belajar secara khusus dengan seorang guru di rumahnya.

Ketika usinya mulai beranjak dewasa, Gus Yahya melanjutkan belajar di Pesantren K.H. Abdul Selo, Pesantren K.H. Umar Ali, yang masih terhidung famili, dan tentunya di pesantren datuknya, Mbah Mutamakkin, Kajen.

Tidak cukup sampai di situ, ia juga melanjutkan belajar ke Bangil, Jawa Timur.

Merasa belum puas dengan ilmu yang selama ini didapat, saat usianya beranjak 16 tahun, ia belajar kepada Habib Anis bin Alwi Al-Habsyi, Solo. Di tempat terahir ini, ia nyantri cukup lama, kurang lebih selama empat tahun, sejak tahun 1991 hingga tahun 1995.

Gus Yahya merasa bersyukur lahir dari keturunan Mbah Mutamakkin. Bukan bermaksud mengkultuskan, namun, baginya, anugerah ini menjadi keuntungan tersendiri bagi anak keempat dari delapan bersaudara ini. Sehingga abahnya, yang juga seorang ulama, memiliki himmah yang tinggi terhadap ilmu agama. Ini diwariskan sang buyut. Dan semangat itu juga yang diwariskan sang abah kepada Gus Yahya, sehingga abahnya selalu mendukung dan memotivasi agar Gus Yahya tak pernah berhenti belajar. Bahkan hingga ke mancangara.

“Abah memang begitu memotivasi saya untuk belajar kepada para ulama yang hebat di mancanegara. Ini bukan bermaksud mengecilkan peran ulama Indonesia, biar bagaimanapun banyak ulama Indonesia yang memiliki reputasi sekaliber ulama internasional. Akan tetapi yang dimaksud oleh sang abah, apabila berkesempatan belajar di macanegara, khususnya di negeri para nabi, ada keistimewaan tersendiri, yakni saya bisa mendapatkan berkah pada tempat-tempat tertentu, seperti Makkah dan Madinah, yang tidak terdapat di Indonesia. Selain itu tentunya bisa membangun jaringan dengan ulama internasional,” kata Gus Yahya.

Pucuk dicita, ulam pun tiba. Pada tahun 1995, Gus Yahya berkesempatan berangkat ke Madinah, belajar bersama Habib Zein Bin Sumaith. Kesempatan ini merupakan hadiah dari sang guru tercintanya, Habib Anis Al-Habsyi.

Alkisah, sebelum berangkat ke Madinah, Gus Yahya sempat mendapatkan tawaran dari Dr. Abdullah Al-Yamani untuk belajar di beberapa negeri, seperti Amerika dan Pakistan. Ulama dari Jeddah ini memang dikenal sangat antusias kepada pelajar Indonesia yang memiliki motivasi belajar di luar negeri.

Sebagai seorang murid, Gus Yahya mengkonsultasikan perihal tersebut kepada Habib Anis. Akan tetapi habib yang murah senyum ini kurang setuju bila Gus Yahya mengambil tawaran Dr. Abdullah Al-Yamani, ia menasihati Gus Yahya untuk bersabar.

Tahun 1993, Habib Anis bersama rombongan berangkat ke Hadhramaut dan Madinah. Rupanya, saat Habib Anis bertemu Habib Zein Bin Sumaith di Madinah, beliaulah yang mendaftarkan Gus Yahya. Tentu saja jalannya menjadi mulus dengan campur tangan Habib Anis.

Maka berangkatlah Gus Yahya ke Madinah pada tahun 1995.

Habib Zein menerima dengan senang hati.

“Subhanallah, saya yang dhaif ini mendapat perlakuan istimewa, baik zhahir maupun bathin, dari Habib Zein. Tentu ini berkat Habib Anis,” kata Gus Yahya merendah.

Gus Yahya begitu mengagumi sosok gurunya ini. “Kekaguman saya kepada almarhum tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Beliau adalah suri teladan yang hampir-hampir sempurna. Baik itu ilmu, keperibadian, maupun akhlaqnya. Beliau selalu tersenyum kepada siapa saja dan dalam keadaan apa saja. Akhlaq mulia lainnya, beliau begitu memuliakan tamu.

Suatu ketika pernah ada tamu yang akan datang dan kebetulan beliau meminta saya untuk merapikan kamar tamu tersebut. Saat itu beliau berpesan, ‘Bersihkan dengan sebaik-baiknya, kalau untuk tamu itu harus yang terbaik, bahkan yang jauh lebih baik dari kita’,” kata Gus Yahya mengenang.

Almarhum juga pernah berpesan khusus kepada Gus Yahya sesaat sebelum berangkat ke Madinah. Saat itu almarhum Habib Anis sedang sakit dan berobat ke Jakarta. Sebagai seorang murid, Gus Yahya sangat ingin bertemu untuk berpamitan dengan sang guru. Syukur-syukur bisa mendapatkan nasihat untuk bekal selama di kota Nabi. Apalagi Habib Anis memiliki peran penting dalam kepergiannya itu. Ia berusaha mencari keberadaan Habib Anis, ke sana-kemari.

Singkat cerita, Gus Yahya berhasil menemukannya di salah satu kediaman kerabatnya di bilangan Jakarta.
“Saat itu saya hanya berbicara berdua dengan beliau. Beliau memberikan beberapa wasiat, namun yang masih saya ingat di antaranya, ‘Apa yang sudah kamu terima dari Masjid Ariyadh, Solo, seperti wirid dan amal lainya, kamu istiqamahkan.’

Bahkan tidak hanya nasihat, beliau juga sempat memberikan sangu (ongkos), padahal saya muridnya, seharusnya saya yang lebih pantas memberikan itu kepada beliau,” tutur Gus Yahya sumringah.

Di Madinah, Gus Yahya nyantri selama empat tahun. Di kota Nabi SAW itu, ia belajar ilmu fiqih, alat, tasawuf, tafsir, dan sebagainya, kepada Habib Zein Bin Sumaith, Habib Salim Asy-Syathiri, yang sebelum menetap kembali di Hadhramaut masih mondar-mandir Madinah-Tarim, dan ulama yang lainnya.

Satu pembelajaran unik di Madinah yang mungkin tidak didapatkan di tempat lain, kala itu, yaitu sistem ujian Habib Zein. Santri diajak untuk mengasah kecerdasan dan menguatkan hafalan dengan cara diskusi dan ujian setiap pekan. Habib Zein sendiri yang bertanya kepada santri tentang hukum dan dalil suatu permasalahan. Waktunya dua kali dalam sepekan.

Bagi Gus Yahya, sistem seperti itu begitu berkesan. Padahal umumnya seorang siswa atau santri merasa takut bila menghadapi ujian. Apalagi dalam waktu yang sering. Biasanya ujian itu setahun dua kali, bukan seminggu dua kali. Namun ini tidak berlaku bagi Gus Yahya. Ujian dua kali dalam seminggu bukan menjadi momok baginya. Inilah media baginya untuk mengukur pemahamannya selama ini. 

Setiap Jum’at malam ujian nahwu dan Sabtu pagi ujian fiqih. Karenanya tidak mengherankan bila santri-santri Habib Zein terkenal dalam penguasaan masalah fiqih, sedikit banyak karena pengaruh sistem ujian seperti itu.

Tahun 1999, seiring waktu belajarnya akan usai, Gus Yahya mulai bimbang. Apakah ia harus kembali ke Indonesia, atau tetap belajar kepada Habib Zein di Madinah. Muslim mana yang tidak betah tinggal di Madinah, nikmatnya masya Allah....

Ketika tengah berada di Masjid Nabawi, ia mengkonsultasikannya kepada sang guru.

Setelah ia menceritakan permasalahannya, dengan tegas Habib Zein menasihati, “Sebaiknya kamu lihat yang paling bermanfaat dan afdhal buat umat. Apabila kamu lebih dibutuhkan di Indonesia, pulanglah. Sebaliknya, bila menurut kamu belajar di Madinah itu yang terbaik, menetaplah.”

Saat itu juga Gus Yahya langsung mendapatkan jawaban, seolah isyarah dari Allah SWT, ia begitu yakin untuk memilih pilihan pertama, kembali ke Indoensia. Menurutnya, orangtua mengirimnya belajar hingga ke luar negeri bukan tanpa alasan. Ia yakin, ketika dirasa telah memiliki cukup bekal ilmu ia memang harus kembali membatu sang abah meneruskan perjuangannya dalam berdakwah.

Mulai Berdakwah
Awalnya, sekembali dari Madinah pada tahun 1999, Gus Yahya sempat berdakwah di Jakarta. Di Ibu Kota, ia tinggal di kediaman ayah angkatnya, H. Mustofa, daerah Kalibata, yang mendirikan Yayasan Al-Azhari. Sambil berdakwah, ia juga memanfaatkan waktunya untuk menjalin silaturahim dengan para alumnus dari Madinah.

Bersama salah satu kawan dekatnya, asal Bekasi, Habib Muhammad Vad’aq, ia menggagas terbentuknya organisasi murid-murid Habib Zein, yang menampung seluruh alumnus. Pada tahun yang sama, berdirilah organisasi Ath-Thayyibah.

Masih di tahun yang sama, Gus Yahya sempat berencana untuk membangun pesantren di bilangan Cibitung, Bekasi. Kala itu ada salah seorang hartawan yang mewakafkan tanah seluas 5.000 m untuk santri Habib Zein.

Namun, setelah beristikharah, Gus Yahya mendapatkan petunjuk dari Allah SWT untuk hijrah ke arah wetan atau timur. Maka ia tidak jadi mendirikan pesantren di Kota Patriot itu.
Tahun 2000, ia pun memutuskan kembali ke Jawa Tengah. Namun tidak langsung kembali ke kampung halaman untuk mengasuh pesantren peninggalan datuknya, K.H. Dahlan Al-Mutamakkin, ia memilih mendirikan pesantren di Semarang.

Pesantren Mahasiswa
Tumbangnya rezim Soeharto sedikit banyak merupakan kontribusi mahasiswa. Peran mahasiswa sebagai agent of change harus dibentengi dengan ilmu agama.

Secara akademis, ilmu sains, teknologi, dan sebagainya, mereka memang menguasai dengan baik. Namun jika pemahaman spiritualnya kering, akan muncul keadaan seperti sekarang ini: Pejabat pintar, tapi keblinger, pintar membodohi rakyatnya. Banyak yang ahli dalam bisnis, tapi lihai memanipulasi.

Berangkat dari sini, Gus Yahya bersama sahabatnya, K.H. Musolih Azhari dan Habib Hasan, mendirikan pesantren mahasiswa. Pembelajarannya seputar fiqih, akhlaq, tasawuf, tafsir, dan sebagainya. Misinya, untuk mencetak intelektual muslim dan muslim intelektual serta santri yang mampu mengikuti perkembangan zaman dan sarjana yang berjiwa santri.

Selain mengajar di pesantren mahasiswa, ia juga mengembangkan dakwah remaja dengan cara keliling dari satu masjid kampus ke masjid kampus lain. Namanya Majelis Dakwah Pemuda Al-Izzah. Remajanya masih dari kalangan mahasiswa. Namun berbeda dengan pesantren mahasiswa, kajian ini digelar sekali dalam sepekan dan jama’ahnya tidak hanya santri mahasiswa.

Dengan menggunakan metode pendekatan ilmiah, presentasi, diskusi, dan lain-lain, pengajian ini kerap membahas tema-tema permasalahan bangsa dan umat saat itu, agar kontekstual dan mampu menarik jama’ah.

Misalnya, saat ini kembali mencuat isu terorisme. Karena terorisme sering dikait-kaitkan dengan jihad, padahal sesungguhnya tidak ada kaitannya sama sekali, pengajiannya pun membahas kosep seputar jihad.

Menanggapi bahwa terorisme juga terjadi di antara sesama umat Islam, “Sebetulnya bila dicari akar permasalahannya, kelompok radikal itu bersumber dari kelompok yang suka membid’ahkan orang lain, menuduh amaliah sunnah sebagian bid’ah, sesat, dan syirik.... Pada akhirnya mereka merasa bahwa hanya merekalah yang benar. Mereka ingin mengubah namun tidak memiliki kemampuan... maka akhirnya menggunakan jalan pintas, jihad yang salah,” kata Gus Yahya.

Dalam setiap ta’limnya, Gus Yahya selalu menekankan pentingnya belajar kepada seorang guru yang telah jelas keilmuan dan aqidahnya, yang umumnya, selain melakukan perintah Allah SWT, juga mendawamkan amaliyah sunnah Rasulullah dan salafush shalih. Sejatinya, dalam belajar, seorang murid juga harus mengikuti petuah dan nasihatnya, tidak sebatas mengikuti pakaian dan jubahnya. 

Ada kisah dari seorang ulama tasawuf, Abu Yazid Al-Busthami. Satu hari, ada seseorang mendatanginya dan berkata, “Wahai Imam, saya ingin jubah antum, berikan kepada saya, agar saya mendapatkan keberkahan.”

Abu Yazid menjawab, “Jangankan jubahku ini, kalaupun engkau meminta kulit yang melindungi dagingku ini, akan aku sayat dan berikan kepadamu. Tapi sebetulnya ini tidak akan bermanfaat bila engkau tidak mengikuti petuah dan nasihatku, engkau akan mendapatkan barakah bila menjalankan bimbinganku....”

Kini, Gus Yahya memimpin Pesantren Darut Tauhid Al-Mutamakkin, peninggalan sang datuk. Nama Darut Tauhid diberikan oleh abahnya, yang mendapat nama dari ulama kenamaan asal Makkah, Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki. Sementara Al-Mutamakkin diambil untuk bertabarruk kepada buyutnya, Mbah Mutamakkin. Dahulu pesantren ini belum memiliki nama, lazimnya pesantren-pesantren dahulu yang hanya dinamai dengan nama daerah.

Meskipun saat ini ia telah menetap dan mengasuh pesantren di Purwodadi, melanjutkan ta’lim abahnya setiap Ahad Legi, dua pekan sekali setiap Rabu, Gus Yahya masih aktif menjalankan aktivitasnya mengajar di pesantren mahasiswa dan pengajian remaja di Semarang dan tempat-tempat lainnya.